Makalah
Karakteristik Komunikasi Komunikan
Disusun
Oleh :
·
Idfilla Lingga Tama
·
Irma Kumala Sari
·
Mia Rahmatin
·
Retno Ayu Tri Wahyuni
·
Siti Huzaimah
·
Susanti
ILMU KOMUNIKASI
Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Budaya
UNIVERSITAS TRUNOJOYO
MADURA
2012-2013
Daftar Isi
BAB I
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa atas karunianya,sehingga makalah ini
yang berisi tentang “KARAKTERISTIK MANUSIA KOMUNIKAN” merupakan bagian dari
kajian Masalah Komunikasi, namun pembahasan mengenai masalah ini tidak akan
habis untuk dibahas karena masalah ini sudah merupakan bagian dari pola
kehidupan informasi komunikasi. Oleh karena itu, pembahasan mengenai “Karakteristik Komunkasi Komunikan” dapat dirangkum
secara rapi dalam karya ilmiah ini.
Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah memberikan saya motivasi dalam rangka pengadaan makalah ini, saya berharap
informasi yang terdapat dalam makalah ini sangat berguna bagi pembaca.
BAB II ISI
Pemeran utama dalam proses komunikasi
adalah manusia. Psikolog memandang komunikasi pada perilaku manusia komunikan.
Psikolog membahas bagaimana manusia memproses pesan yang diterimanya, bagaimana
cara berfikir dan cara melihat manusia dipengaruhi oleh lambang-lambang yang
dimiliki. Fokus psikologi adalah komunikasi manusia komunikan.
Teori persuasi berlandaskan konsepsi
psikoanalisis yang menyatakan bahwa manusia sebagai makhluk yang digerakkan
oleh keinginan-keinginan terpendam (Homo Volens). Teori “jarum hipodermik”(media
massa sangat berpengaruh terhadap perilaku manusia) dilandasi konsep behaviorisme
yang memandang manusia sebagai makhluk yang digerakkan oleh lingkungan (Homo
Mechanicus). Teori pengolahan informasi jelas dibentuk oleh konsepsi
psikologi kognitif yang melihat manusia sebagai makhluk yang aktif
mengorganisasikan dan mengolah stimuli yang diterimanya (Homo Sapiens).
Teori-teori komunikasi interpersonal banyak dipengaruhi konsep psikologi
humanistis yang menggambarkan manusia sebagai pelaku aktif dalam merumuskan
strategi transaksional dengan lingkungannya (Homo Ludens). Empat pendekatan
psikologi yang paling dominan adalah psikoanalisis, behaviorisme, psikologi kognitif,
dan psikologi humanistis.
Konsepsi
Manusia dalam Psikoanalisis
Menurut Sigmund Freud, perilaku manusia
merupakan hasil interaksi tiga subsistem dalam kepribadian manusia:Id, Ego,
dan Superego.
1. Id
adalah bagian kepribadian yang menyimpan
dorongan –dorongan biologis dan pusat
instink
manusia. Dalam diri manusia, terdapat dua instink(hawa nafsu-dalam kamus agama)
a. Libido adalah Instink
reproduktif yang menyediakan energi dasar untuk kegiatan-kegiatan yang konstruktif. Libido disebut
sebagai instink kehidupan.
b. Thanatos Instink destruktif yang agresif. Thanatos disebut
sebagai instink kematian. Semua motif manusia adalah gabungan dari libido dan
thanatos. Id bergerak berdasarkan prinsip kesenangan (pleasure
principle), yakni ingin segera memenuhi kebutuhannya. Dengan kata lain, id
adalah tabiat hewani manusia.
2. Ego
adalah mediator antara hasrat-hasrat
hewani dengan tuntutan rasional dan realistik.Egolah yang menyebabkan
manusia mampu menundukkan hasrat hewaninya dan hidup sebagai wujud yang
rasional (pada pribadi yang normal). Ego bergerak berdasarkan prinsip
realitas (reality principle).
3. Superego
adalah hati nurani (conscience) yang
merupakan internalisasi dari norma-norma sosial dan kultural masyarakatnya. Superego
memaksa ego untuk menekan hasrat-hasrat yang tak berlainan ke alam
bawah sadar.
Id dan
superego berada dalam bawah sadar manusia. Ego berada di tengah,
antara memenuhi desakan id dan peraturan superego. Secara
singkat, dalam psikoanalisis perilaku manusia merupakan interaksi antara
komponen biologis (id), komponen psikologis (ego), dan komponen
sosial (superego); atau unsur animal, rasional, dan moral (hewani,
akali, dan nilai).
Konsepsi
Manusia dalam Behaviorisme
Behaviorisme menganalisa perilaku yang
tampak, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori behavioris juga
dikenal dengan nama teori belajar. Belajar artinya perubahan perilaku
manusia disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Dari situlah timbul konsep
“manusia mesin” (Homo Mechanicus).
Menurut kaum empiris, pada waktu lahir
manusia tidak mempunyai “warna mental”. Secara psikologis, ini berarti seluruh
perilaku manusia, kepribadian, dan temperamen ditentukan oleh pengalaman
indrawi (sensory experience). Pikiran dan perasaan bukan penyebab perilaku
tetapi disebabkan oleh perilaku masa lalu. Hedonisme memandang manusia sebagai
makhluk yang bergerak untuk memenuhi kebutuhannya, mencari kesenangan, dan menghindari
penderitaan. Utilititarianisme memandang seluruh perilaku manusia tunduk pada
prinsip ganjaran dan hukuman. Bila empirisme digabung dengan utilitarianisme
dan hedonisme, maka akan muncul apa yang disebut behaviorisme (Goldstein,
1980:17).
Kaum behavioris berpendirian:manusia dilahirkan
tanpa sifat-sifat sosial atau psikologis; perilaku adalah hasil pengalaman; dan
perilaku digerakkan atau dimotivasi oleh kebutuhan
untuk
memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan.
Watson
dan Rosalie Rayner melalui sebuah eksperimen telah membuktikan betapa mudahnya membentuk
atau mengendalikan manusia dan melahirkan metode pelaziman klasik (classical
conditioning). Pelaziman klasik adalah memasangkan stimuli yang netral
atau stimuli kondisi dengan stimuli tertentu (yang terkondisikan/unconditioned
stimulus) yang melahirkan perilaku tertentu (unconditioned respons).
Jenis pelaziman lain ditemukan oleh
Skinner, yaitu operant conditioning. Dimana perilaku manusia dipengaruhi
oleh proses peneguhan. Proses memperteguh respons yang baru dengan mengasosiasikannya
pada stimuli tertentu berkali-kali, disebut peneguhan (reinforcement). Menurut
Bandura, tidak semua perilaku dapat dijelaskan dengan pelaziman. Bandura menambahkan
konsep belajar sosial (social learning). Menurut Bandura, belajar terjadi
karena proses peniruan (imitation). Dengan kata lain, melakukan suatu
perilaku ditentukan oleh peneguhan, sedangkan kemampuan potensial untuk
melakukan ditentukan oleh peniruan.
Konsepsi Manusia dalam
Psikologi Kognitif.
Ketika asumsi-asumsi Behaviorisme diserang
habis-habisan pada akhir tahun 60-an dan awal tahun 70-an, psikologi sosial
bergerak ke arah paradigma baru. Manusia tidak lagi dipandang sebagai makhluk
yang bereaksi secara pasif pada lingkungan, tetapi sebagai makhluk yang selalu
berusaha memahami lingkungannya, makhluk yang selalu berfikir (Homo Sapiens).
Pikiran yang dimaksudkan behaviorisme sekarang didudukan lagi di atas tahta.
Frege ( 1977:38 )
“ Pengaruh seseorang pada yang lain
kebanyakan ditimbulkan oleh pikiran. Kita mengkomunikasikan pikiran. Bagaimana
hal ini terjadi? Kita timbulkan perubahan di dunia luar yang sama.
Perubahan-perubahan ini,setelah dipersepsi orang lain, akan mendorong kita
untuk memahami suatu pikiran dan menerimanya sebagai hal yang benar. Mungkinkah
terjadi peristiwa besar dalam sejarah tanpa komunikasi pikiran? Anehnya kita
cenderung menganggap pikiran itu tidak nyata karena tampak tidak mempengaruhi
peristiwa,sementara berpikir, memutuskan, menyatakan,memahami dan sebagainya
adalah fakta kehidupan manusia. Mana yang lebih nyata, sebuah palu atau
pikiran? Alangkah bedanya proses penyerahan palu dengan komunikasi pikiran,”
Frege menulis hal diatas dalam sebuah buku filsafat
berpikir ( Philosophical Logic ), mengisyaratkan kelebihan rasionalisme pada empirisme. Psikologi
kognitif memang dapat diasali pada resionalisme Immanuel Kant ( 1724-1804 ),
Rene Descartes ( 1596-1650 ), bahkan sampai ke Plato.
Kaum rasionalisme mempertanyakan apakah betul bahwa
pengideraan kita, melalui pengalaman langsung, sanggup memberikan kebenaran.
Kemampuan alat indra kita dipertanyakan karena sering kali gagal menyajikan
informasi yang akurat. Bukankah mata anda mengatakan bahwa kedua rel kereta api
yang sejajar itu bertemu di ujung sana : bukankah telinga anda baru mendengar detak
jam dinding pada saat memperhatikannya, padahal jam itu tetap berdetak ketika
anda membisikan kata cinta pada teliga kekasih anda.
Descartes juga Kant menyimpulkan bahwa jiwalah (
mind ) yang menjadi alat utama pengetahuan, bukan alat indra. Jiwa menafsirka
pengalaman indrawi secara aktif: mencipta, mengorganisasikan, menafsirkan,
mendistorsi dan mencari makna. Tidak semua stimuli kita terima. Sensasi dan
pikiran adalah pelayan, mereka menunggu panggilan kita, mereka tidak datang
kecuali kalau kita butuhkan. Ada tuan yang menyeleksi dan mengarahkan.
Rasionalisme ini tampak jelas pada aliran psikologi
Gestalt di awal abad XX. Para psikolog Gestalt, seperti juga kebanyakan
psikoanalis, adalah orang-orang jerman: Meinong, Ehrenfels, Kohler, Wertheimer,
dan Koffka. Menurut mereka, manusia tidak memberikan respon kepada stimuli
secara otomatis. Manusia adalah organisme aktif yang menafsirkan dan bahkan
mendistorsi lingkungan. Sebelum memberikan respon, manusia menangkap dulu
“pola” stimuli secara keseluruhan dalam satuan-satuan yang bermakna. Pola ini
disebut Gestalt Huruf. Manusialah yang menentukan makna stimulu itu, bukan
stimulu itu sendiri. Dikalangan ilmu komunikasi terkenal proposisi “ Word don’t
mean, people mean ” kata-kata tidak bermakna, oranglah yang memberi makna .
Mula-mula psikologi gestalt hanya menaruh perhatian
pada persepsi obyek. Beberapa orang menerapkan prinsip-prinsip Gestalt dalam
menjelaskan perilaku sosial. Diantara mereka adalah Kurt Lewin, Solomon Asch,
dan Fritz Heider.
Menurut Lewin, perilaku manusia harus dilihat dalam
konteksnnya. Dari fisika, Lewin meminjam konsep medan (field) untuk menunjukan totalitas gaya yang
mempengaruhi seseorang pada saat tertentu. Perilaku manusia bukan sekedar respons
pada stimuli, tetapi produk berbagai gaya yang mempengaruhi secara spontans.
Lewin menyebutkan seluruh gaya psikologis yang mempengaruhi manusia sebagai
ruang hayat ( life space ). Ruang hayat terdiri dari tujuan dan kebutuhan
individu, semua faktor yang didasarinya dan kesadaran diri. Dari Lewin terkenal
rumus: B = f (P , E), artinya Behavior ( perilaku) adalah hasil interaksi
aantara person ( diri orang itu ) dengan environment ( lingkungan
psikologisnya).
Lewin juga berjasa dalam menganalisa kelompok. Dari
Lewin lahir kosep dinamika kelompok. Dalam kelompok, individu menjadi bagian
yang saling berkaitan dengan anggota kelompok yang lain. Kelompok memiliki
sifat-sifat yang tidak dimiliki individu. Solomon Asch memperluas penelitia
kelompok denagn melihat pengaruh penilaian kelompok (group juddgements) pada
pembentukan kesan (impression formations). Dengan beberapa eksperimen, Asch
menunjukkan kecenderungan orang untuk mengikuti kelompokknnya.
Lewin juga berbicara tentang tension (tegangan) yang
menunjukkan suasana kejiwaan yang terjadi ketika kebutuhan psikologi belum
terpenuhi. Konsep tensions melahirkan banyak teori yang digabung dengan istilah
teori (konsistensi kognitif). Teori ini pada pokoknya menyatakan bahwa individu
berusaha mengoptimalkan makna dalam persepsi, perasaan, kognisi, dan
pengalaman. Bila makna tidak optimal, timbul tension yang memotivasi orang
untuk menguranginya. Fritz Heider, Leon Festinger, Abelson adalah tokoh-tokoh
ini. Kita akan membicarakannya lebih lanjut dalam sistem kom u nikasi
interpersonal, sebab disinilah psikologi kognitif banyak berbicara.
Heider dan Festinger membawa psikologi kognitif ke
dalam psikologi sosial. Secara singkat kita akan melihat perkembangan pengaruh
psikologi kognitif ini dalam psikologi sosial, terutama untuk menggambarkan
perkembangan konsepsi manusia dalam mazhab ini.
Sejak pertengahan tahun 1950-an berkembang
penelitian mengenai perubahan sikap dengan kerangka teoretis manusia sebagai
pencari konsistensi kognitif ( The
Person as Consistency Seeker ). Di sini
manusia di pandang sebagai makhluk yang selalu berusaha menjaga keajegan dalam
sistem kepercayaannya, dan diantara sistem kepercayaan dengan perilaku.
Awal tahun 1970-an, teori disonansi dikritik, dan
muncul konsepsi manusia sebagai pengolah informasi ( The Person as Irmasition
Processoer ). Dalam konsepsi ini,
manusia bergeser dari orang yang suka mencari justifikasi atau membela diri
menjadi orang yang secara sadar memecahkan persoalan. Perilaku manusia
dipandang sebagai produk strategi pengolahan informasi yang rasional, yang
mengarahkan penyandian, penyimpanan, dan pemanggilan informasi. Cotoh
perspektif ini adalah teori atribusi yang akan diuraikan pada bab 4: “ Sistem
komunikasi Interpersonal. ” Teori atribusi menganggab manusia sebagai ilmuwan
yang naif ( naive scientist ), yang memahami dunia dengan metode ilmiah yang
elementer.
Kenyataan
menunjukkan bahwa manusia tidaklah serasionaldugaan di atas. Seringkali malah
penilaian orang didasarkan pada informasi yang tidak lengkap dan kurang begitu
rasional. Penilaian didasarkan pada data yang kurang, lalu dikombinasikan dan
diwarnai oleh prakonsepsi. Menusia menggunakan prinsip-prinsip umum dalam
menetapkan keputusan. Kahneman dan Tversky ( 1974 ) menyebutkan “ cognitive
heuristict ” (dalil-dalil kognitif ). Ada
orang tua yang segera gembira ketika anaknya berpacaran dengan mahasiswa ITB ,
karena berpegang pada “ cognitive heuristict ” bahwa mahasiswa ITB menpunyai
masa depan yang gemilag ( tanpa memperhitungkan bahwa pacar anaknya adalah
mahasiswa seni rupa yang meragukan masa depannya ). Dari sini munculah konsepsi
Manusia sebagai Miskin Kognitif ( The Person as Cognitive Miser .
Walaupun psikologi kognitif sering dikritik karena
konsep-konsepnya sukar diuji, psikologi kognitif telah memasukan kembali “ jiwa
” manusia yang telah dicabut behaviorisme. Manusia kini hidup dan mulai
berpikir, tetapi manusia bukan sekedar makhluk yang berpikir, ia juga berusaha
menemukan identitas dirinya dan mencapai apa yang didambakannya.
Manusia dalam Konsep
Psikologi Humanistik
Psikologi
Humanistik dianggap sebagai revolusi ketiga dalam psikologi revolusi pertama
dan kedua adalah psikologi analsisis (manusia dipengaruhi oleh primitifnya) dan
behaviorisme (manusia hanyalah mesin yang di bentuk lingkungan), dalam
pandangan behafiorisme manusia menjadi
robot tanpa jiwa dan nilai, dalam psikoanalisis, seperti kata freud sendiri “we
see a man as a savage beast” (1930:86) keduanya tidak menghormati manusia
sebagai manusia, keduanya tidak dapat menjelaskan aspek eksistensi manusia yang
positif dan menentukan, seperti cinta, kreatifitas, nilai, makna, dan
pertumbuhan pribadi.
Psikologi
humanistik lebih banyak mengambil dari fenomenologi dan eksistensiaisme,
fenomenologi memandang manusia hidup dalam “dunia kehidupan” yang di persepsi
dan diinterprestasi secara subyektif yaitu setiap orang mengalami dunia dengan
caranya sendiri, fenomenologi banyak mempengaruhi tulisan-tulisan Carl Rogers
(Bapak Psikologi Humanistik), Abraham maslow menyebutkan “growth needs”
eksistensialisme menekankan pentingnya kewajiban individu pada sesame manusia.
Yang paling penting bukan apa yang di dapat dari kehidupan, tapi apa yang dapat
kita berikan untuk kehidupan. Jadi hidup kita baru bermakna hanya apabila
melibatkan nilai-nilai dan pilihan yang konstruktif secara sosial.
Manusia
bukan saja pelakon dalam panggung masyarakat, bukan saja pencari identitas,
tetapi juga pencari makna. Freud pernah mengirim surat pada princess Bonaparte
dan menulis bahwa pada saat manusia bertanya apa makna dan nilai kehidupan, pada
saat itu ia sakit. Hal itu dai salahkan
oleh Victor E. Frankl, manusia justru menjadi manusia ketika mempertanyakan
apakah hidupnya bermakna. Frankl menyimpulkan asumsi-asumsi Psikologi
Humanistik adalah keunikan manusia, pentingnya nilai dan makna, serta kemampuan
manusia untuk mengembangkan dirinya. Adapun beberapa asumsi-asumsi pandangan
humanistik yang di garisbesarkan oleh Carl Rogers yaitu:
1.
Setiap manusia hidup
dalam dunia pengalaman yang bersifat pribadi, dimana dia-sang aku, ku, atau
diriku menjadi pusat, perilaku manusia berpusat dari konsep diri yaitu persepsi
manusia tentang identitas dirinya yang bersifat fleksibel dan berubah-ubah,
yang muncul dari suatu medan fenomenal yang terdiri dari pengalaman-pengalaman
aku, ku, dan “bukan aku”
2.
Manusia berperilaku
untuk mempertahankan, meningkatkan, dan mengaktualisasikan diri.
3.
Individu bereaksi pada
situasi sesuai dengan persepsi tentang dirinya dan dunianya- ia bereaksi pada
“realitas” seperti yang di persepsikan olehnya dan dengan cara yang sesuai dengan
konsep dirinya.
4.
Anggapan adanya ancaman
terhadap diri akan diikuti oleh pertahanandiri- berupa penyempitan dan
pengkakuan persepsi dan prilaku penyesuaian serta penggunaan mekanisme
pertahanan ego seperti resionalisasi.
5.
Kecenderungan batiniah
manusia ialah menuju kesehatan dan keutuhan diri, dalam kondisi normal ia
berperilaku rasional dan konstruktif, serta memilih jalan menuju pengembangan
dan aktualisasi diri.
Terdapat
dua pendekatan dalam psikologi sosial yang menekankan factor-faktor psikologis
dan ada yang menekankan factor-faktor sosial, dengan istilah lain:
factor-faktor yang timbul dalam diri individu (factor personal), dan
factor-faktor berpengaruh yang datang dari luar diri individu (factor
environmental) tercermin secara menarik, pada dua buah buku yang pertama
kalinya mencantumkan istilah psikologi sosial dalam judulnya, keduanya terbir
bersama pada tahun 1908, buku pertama berjudul introduction to social Psychology, ditulis oleh William McDougall,
seorang psikolog, Dougall menekankan pentingnya factor-faktor personal dalam
menentukan interaksi sosial dan masyarakat, menurutnya, faktor-faktor
personallah ia menjabarkannya dalam puluhan insting yang menentukan perilaku
manusia, mengapa manusia berperang? Karena ia memiliki insting berkelahi.
Mengapa manusia sanggup membangun bangunan megah?karena ia memiliki insting
membangun. Buku yang lainnya adalah Social
Psychology, terbit di New York, ditulis oleh Edward Ross, seorang sosiolog.
Ross mengatakan utamanya factor situasional dan sosial dalam membentuk perilaku
individu.
Di
antara dua pendapat tersebut tampak kebenaran interaksi antar keduanya dengan
menggunakan istilah Edward E. Sampson(1976)-antara perspektif yang berpusat
pada persona (person centered perspective) dengan perspektif yang berpusat pada
situasi (situation centered perspective). Perspektif yang berpusat pada persona
mempertanyakan factor-faktor internal apakah, baik berupa sikap, insting,
motif, kepribadian, sistim kognitif yang menjelaskan perilaku manusia. Secara
garis besar ada dua factor, yaitu factor biologis dan factor sosiopsikologis
Faktor Biologis
Manusai
adalah mahluk biologis yang tidak berbeda dengan hewan yang lain. Factor
biologis terlibat dalam seluruh kegiatan
manusia, bahkan berpadu dengan factor-faktor sosiopsikologis. Bahwa warisan
biologis manusia menentukan perilakunya, dapat diawali sampai struktur DNA yang
menyimpan seluruh memori warisan biologis yang diterima dari kedua orangtuanya.
Besarnya pengaruh warisan biologis sampai memunculkan aliran baru, yang
memandang seluruh kegiatan manusia, termasuk agama, kebudayaan, moral, Aliran
ini disebut dengan aliran sosiobiologis.
Menurut
Wilson, perilaku sosial di bombing oleh aturan-aturan yang sudah di program
secara genetis dalam jiwa manusia. Yang disebut sebagai “epigenetic rules”,
mengatur perilaku manusia sejak kecenderungan menghindari incest, kemampuan memahami ekspresi wajah sampai pada persaingan politik.
Pada era akhir ini orang berusaha mengendalikan perilaku manusia melalui
manipulasi genetis, control terhadap sistim saraf dan sistim hormonal. Yang pertama dilakukan “quality control”
terhadap gen-gen bakal manusia. Dapat menyingkirkan gen-gen yang refresif dan memelihara gen-gen yang
meninggikan kualitas manusia, misalnya : menyingkirkan sifat agresif dan
memperkuat sifat-sifat penyantun, dengan bedah otak dan sebagainya. Sehingga
dapat mengubah seluruh massa manusia menjadi sangat mudah dipengaruhi.
Terdapat
dua petunjuk yang penting untuk diperhatikan betapa pentingnya pengaruh
biologis terhadap perilaku manusia
1.
Telah diakui secara
meluas adanya perilaku tertentu yang merupakan bawaan manusia, dan bukan
pengaruh lingkungan atau situasi, contoh : member makan, merawat anak, perilaku
menariklawan jenis sebagai ungkapan cinta
2.
Di akui pula adanya
factor-faktor biologis yang mendorong perilaku manusia, yang lazim disebut
sebagai motif biologis yang paling
penting ialah kebutuhan akan makanan-minuman dan istirahat, kebutuhan
memelihara kelangsungkan hidupdengan menghindari sakit dan bahaya
Faktor-faktor Sosiopsikologis
1.
Komponen
Afektif
Merupakan
aspek emosional yang terdiri dari motif sosiogenis, sikap dan emosi.
a. Motif
sosiogenis
Motif ini berperan
dalam membentuk dan menentukan perilaku sosial.
·
Motif ingin tahu :
mengerti, menata, dan menduga. Setiap orang berusaha memahami dan memperoleh
arti dari dunianya.
·
Motif kompetensi.
Setiap orang ingin membuktikan bahwa ia mampu mengatasi persoalan kehidupan apa
pun. Motif ini erat hubungannya dengan kebutuhan rasa aman.
·
Motif cinta. Setiap
orang ingin diterima di dalam kelompoknya sebagai anggota sukarela dan bukan
yang sukar rela.
·
Motif harga diri dan
kebutuhan untuk mencari identitas. Setiap orang ingin kehadirannya bukan saja
dianggap bilangan, tetapi juga diperhitungkan.
·
Kebutuhan akan nilai,
kedambaan dan makna kehidupan. Setiap orang dalam menghadapi gejolak kehidupan
membutuhkan nilai-nilai untuk menuntunnya dalam mengambil keputusan atau memberikan
makna pada kehidupannya.
·
Kebutuhan akan
pemenuhan diri. Pemenuhannya berwujud : (1) mengembangkan dan menggunakan
potensi-potensi yang dimiliki dengan cara yang kreatif konstruktif, misalnya
dengan seni, music, sains, atau hal-hal yang mendorong ungkapan diri yang
kreatif; (2) memperkaya kualitas kehidupan dengan memperluas rentangan dan
kualitas pengalaman serta pemuasan, misalnya dengan jalan darmawisata; (3)
membentuk hubungan yang hangat dan berarti dengan orang-orang lain di sekitar
kita; (4) berusaha “memanusia”, menjadi persona yang kita dambakan.
b. Sikap
Adalah
kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa dalam menghadapi
objek, ide, situasi atau nilai. Sikap mempunyai daya pendorong atau motivasi,
relative menetap, mengandung aspek evaluative dan timbul dari pengalaman.
c. Emosi
Menunjukkan
kegoncangan organism yang disertai oleh gejala-gejala kesadaran, keperilakuan,
dan proses fisiologis.
2.
Komponen
Kognitif
Merupakan
aspek intelektual, yang berkaitan dengan apa yang diketahui manusia.
Salah
satu komponen kognitif adalah kepercayaan. Kepercayaan adalah keyakinan bahwa
sesuatu itu benar atau salah atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman,
atau intuisi.
3.
Komponen
Konatif
Merupakan
aspek volisional, yang berhubungan dengan kebiasaan dan kemauan bertindak.
·
Kebiasaan
Adalah aspek
perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis, tidak direncanakan.
Setiap orang mempunyai kebiasaan yang berlainan dalam menanggapi stimulus
tertentu.
·
Kemauan
Kemauan erat
kaitannya dengan tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan.
Delgado
menyimpulkan bahwa respons otak sangat dipengaruhi oleh “setting” atau
suasana yang melingkupi organisme (Packard, 1978:45). Edward G. Sampson
merangkumkan seluruh faktor situasional sebagai berikut:
I. Aspek-aspek objektif dari lingkungan
a. Faktor
ekologis
Kaum determinisme lingkungan
menyatakan bahwa keadaan alam mempengaruhi gaya hidup dan perilaku. Yang termasuk
faktor ekologis:
·
Faktor geografis
·
Faktor iklim dan
meteorologis
b. Faktor
desain dan arsitektural
Suatu rancangan arsitektur dapat
mempengaruhi perilaku komunikasi diantara orang-orang yang hidup dalam naungan
arsitektural tertentu.
c. Faktor
temporal
Waktu dapat mempengaruhi bioritma manusia dalam
kehidupan.
d. Analisis
suasana perilaku
Lingkungan dapat memberikan
efek-efek tertentu terhadap perilaku manusia. Misalkan ketika di masjid orang tidak akan berbicara
keras seperti halnya di pesta. Dalam suatu kampanye di lapangan terbuka,
komunikator akan menyusun dan menyampaikan pesan dengan cara yang berbeda dari
pada ketika ia berbicara di hadapan kelompok kecil di ruang rapat partainya.
e. Faktor
teknologis
Revolusi teknologi seringkali
disusul dengan revolusi dalam perilaku social, misalakan adanya mesin cetak
mengubah masyarakat tribalmenjadi masyarakat yangberpikir logis dan
individualis.
f. Faktor
sosial
Sistem peranan yang ditetapkan
dalam suatu masyarakat, struktur kelompok dan organisasi, karakteristik populasi,
adalah faktor-faktor sosial yang menata perilaku manusia. Kelompok orang tua
melahirkan pola perilaku yang berbeda dengan kelompok anak-anak muda. Secara
singkat, pengelompokkannya adalah sebagai berikut:
·
Struktur organisasi
·
Sistem peranan
·
Struktur kelompok
·
Karakteristik populasi
II. Lingkungan psikososial
Persepsi
kita tentang sejauh mana lingkungan memuaskan atau mengecewakan kita, akan
mempengaruhi perilaku kita dalam lingkungan itu. Lingkungan dalam persepsi kita
itu lazim disebut sebagai iklim (climate). Berikut ini adalah jenis-jenis
lingkungan psikososial:
a. Iklim
organisasi dan kelompok
b. Ethos
dan iklim institusional dan cultural
III. Stimuli yang mendorong dan memperteguh perilaku
Terdapat
situasi yang memberikan rentangan kelayakan perilaku (behavioral
appopriateness), seperti situasi di taman dan situasi yang memberikan
kendala pada
perilaku, misalnya gereja. Situasi yang permisif
memungkinkan manusia untuk
melakukan
banyak hal tanpa harus merasa malu. Sebaliknya, situasi restriktif
menghambat
orang untuk berperilaku sekehendak hatinya. Jenis-jenis stimuli yang
mendorong
dan memperteguh perilaku manusia adalah:
a.
Orang lain
b. Situasi
pendorong perilaku (Sampson, 1976:13-14).
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN
Pemeran
utama dalam proses komunikasi adalah manusia. Psikolog memandang komunikasi
pada perilaku manusia komunikan. Psikolog membahas bagaimana manusia memproses
pesan yang diterimanya, bagaimana cara berfikir dan cara melihat manusia
dipengaruhi oleh lambang-lambang yang dimiliki. Fokus psikologi adalah
komunikasi manusia komunikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar