BAB
I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Filsafat pada zaman modern lahir
karena adanya upaya keluar dari kekangan pemikiran kaum agamawan di zaman
skolastik. Salah satu orang yang berjasa dalam membangun landasan pemikiran
baru di dunia barat adalah Rene Descartes. Descartes menawarkan sebuah prosedur
yang disebut keraguan metodis universal dimana keraguan ini bukan menunjuk
kepada kebingungan yang berkepanjangan, tetapi akan berakhir ketika lahir
kesadaran akan eksisitensi diri yang dia katakan dengan cogito ergo sum (saya
berpikir, maka saya ada). Teori pengetahuan yang dikembangkan Rene Descartes
ini dikenal dengan nama rasionalIsme karena alur pikir yang dikemukakan Rene
Descartes bermuara kepada kekuatan rasio (akal) manusia. Sebagai reaksi dari
pemikiran rasionalisme Descartes inilah muncul para filosof yang berkembang
kemudian yang bertolak belakang dengan Descartes yang menganggap bahwa
pengetahuan itu bersumber pada pengalaman. Mereka inilah yang disebut sebagai
kaum empirisme. Di antaranya yaitu John Locke, Thomas Hobbes, George Barkeley,
dan David Hume.
Empirisme adalah suatu doktrin
filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan
mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme sendiri diambil dari bahasa Yunani
yakni Empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Empirisme memilih sumber
utama pengetahuan bukan dari rasio melainkan pengalaman. Empirisme menurut
wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas adalah suatu aliran dalam filsafat
yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia.
Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam
dirinya ketika dilahirkan.
ISI
1.
BIOGRAFI
TOKOH
RENE
DESCARTES
Descartes filosof Perancis yang lahir pada tahun 1596 dan wafat pada tahun
1650, ia merupakan seorang tokoh filsafat yang beragama Katolik. Ayah Descartes
merupakan ketua parlemen Inggris dan memiliki tanah yang cukup luas. Setelah
ayahnya meninggal, Descartes mewarisi tanah tersebut, ia menjual tanah warisan
itu dan menginvestasikan uangnya dengan pendapatan enam atau tujuh ribu franc
per tahun. Dia mengecam pendidikan matematika modern di sebuah universitas yang
bernama Jesuit di La Flѐche pada tahun 1604-1612, yang nampaknya telah
memberikan dasar-dasar matematika modern yang lebih baik daripada yang bisa
diperolehnya di kebanyakan universitas pada saat itu.(Russell. 2004. 733).
Setelah pindah ke Paris pada tahun 1612 - karena bosan dengan kehidupan sosial
di Paris - dia mengasingkan diri di daerah terpencil yang bernama Fauborg St.
Germain untuk menekuni geometri.
Namun teman-temannya berhasil menemukanya, maka untuk lebih menyembunyikan
diri ia mendaftar sebagai tentara Belanda. Ketika Belanda dalam keadaan damai,
dia tampak menikmati meditasinya selama 2 tahun. Akan tetapi meletusnya perang
Bavaria pada tahun 1619 mendorongnya untuk kembali mendaftarkan diri sebagai
seorang tentara. Di Bavaria inilah selama musim dingin 1619-1620 ia mendapatkan
pengalaman yang dituangkanya ke dalam buku Discourse de la Mѐthode. Karena
cuaca dingin, pada pagi hari ia masuk ke dalam perapian (stove) dan berdiam
diri di sana sepanjang hari untuk bermeditasi. (Russell. 2004. 733). Menurut
ceritanya sendiri, setengah filsafatnya telah selesai ketika dia keluar, akan
tetapi pernyataan tersebut masih belum dapat dipahami karena terlalu harfiah.
Socratees dahulu bermeditasi sepanjang hari ketika musim dingin dan bersalju,
akan tetapi Descartes hanya bekerja ketika tubuhnya merasa hangat.Pada tahun
1628 dia kembali menjadi tentara untuk menyerbu La Rochelle, kubu pertahanan
Huguenot; ketika perang ini selesai dia memutuskan untuk tinggal di Belanda.
Dia tinggal di Belanda selama dua puluh tahun (1629-1649). Descartes
sebenarnya ingin hidup damai. Hal ini terbukti dengan kedekatanya akan kaum
gerejawan, khususnya kaum Jesuit – demi kepentingan-kepentingan gereja itu
sendiri, maupun kepentingan Descartes – untuk mengurangi kebencianya terhadap
sains modern. Melalui Chanur, seorang duta besar Prancis di Stockholm,
Descartes berkorespondensi dengan Ratu Christina di Swedia. Descartes
mengirimi sang ratu dengan karya-karyanya. Tulisan ini mendorong Ratu Christina
untuk mengundang Descartes datang ke istana; akhirnya pada tahun 1649 Descartes
datang ke istana dan dijemput oleh pasukan Ratu Christina. Ratu ingin
memperoleh pelajaran dari Descartes, tetapi Ratu tidak meluangkan waktu kecuali
pukul lima pagi. Bangun pagi pada musim dingin di Skandanavia bukanlah hal yang
baik bagi seorang laki-laki lembut. Chanur sakit keras dan Descartes
merawatnya. Duta besar ini sembuh, tetapi sebaliknya Descartes yang sakit dan
akhirnya meninggal pada tahun 1650. Descartes tidak pernah menikah, akan tetap
dia mempunyai seorang anak perempuan kandung yang meninggal pada usia lima
tahun.
DAVID HUME
Hume lahir di
Edinburg tahun 1711. Ayahnya meninggal ketika ia masih bayi, mewariskan pada
keluarga sebuah perkebunan kecil. Hume adalah seorang murid yang sukses, dan sebagai
anak muda, ia memiliki perhatian yang tinggi terhadap sastra dan filsafat. Ia
cenderung untuk mengejar karir penelitian ilmiah dan menulis, tetapi pernah
sesaat terlepas dari jalan ini oleh keluarganya yang mengajarkan bahwa ia cocok
untuk profesi di bidang hukum dan membujuknya untuk belajar hukum. Usaha yang
tidak berhasil ini hanya berumur singkat. Karena dihadapkan pada kebutuhan
keuangan, Hume pergi ke Bristol dan bekerja di dunia bisnis selama beberapa
bulan. Bagaimanapun, pekerjaan ini tidak disukainya. Maka, pada usia 23 tahun,
Hume menerima uang dari keluarganya dan pergi ke Perancis untuk belajar dan
menulis. Ia tinggal di sana hingga tahun 1737 dan menulis A Treatise of Human
Nature. Hume memiliki harapan yang tinggi pada karya ini, tetapi penerbitan
karya ini tidak banyak mendapat perhatian.
Meskipun patah
semangat, karena buruknya penerimaan terhadap Treatise, Hume terus menulis. Di
tahun 1741-1742 saat di Skotlandia, ia menerbitkan Essays, Moral and Political.
Karya ini mendapatkan kesuksesan, dan Hume bersemangat untuk merevisi Treatise.
Sementara itu, ia melamar kedudukan profesor filsafat di Universitas Edinburg,
tetapi reputasinya sebagai seorang yang skeptis dan atheis telah merintangi
pengangkatan tersebut.
Pada tahun 1751,
revisi terakhir bagian pertama dan ketiga karya Treatise diterbitkan
masing-masing dengan judul An Enquiry Concerning Human Understanding dan An
Enquiry Concerning The Principles of Morals. Kira-kira pada saat yang sama,
Hume menulis karya yang berjudul Dialogue Concerning Natural Religion. Dialogue
menjelaskan sikap Hume tentang eksistensi Tuhan dan sifat agama. Namun atas
saran teman yang memiliki perhatian terhadap sifat pandangannya yang radikal,
Hume tidak jadi menerbitkan Dialogue. Dengan ketetapan dari kehendak Hume,
karya itu diterbitkan setelah Hume meninggal di tahun 1779.
Antara tahun
1752-1757, Hume mengabdi sebagai petugas perpustakaan di Faculty of Advocates
di Edinburg. Setelah mendapatkan sumber-sumber dari perpustakaan ini, Hume
menulis tentang sejarah Inggris. Karya ini tidak hanya panjang, tetapi juga
kontroversial. Bagaimanapun, sebagai akibatnya, semua tulisan Hume menjadi
lebih dikenal dan karya-karya itu mendapat pujian luas dari beberapa kalangan.
Pujian tersebut terutama datang dari kalangan intelektual Perancis dan ketika
Hume pergi ke sana pada tahun 1763 sebagai sekretaris Duta Besar Inggris, ia
menerima sambutan hangat. Ia kembali ke London di tahun 1766 bersama Rousseau,
meskipun hubungan antara keduanya segera menegang. Setelah mengabdi selama tiga
tahun di Undersecretary of State, Hume pensiun di Edinburg dan meninggal di
sana tahun 1776.
IMMANUEL
KANT
Immanuel Kant adalah seorang filsuf
besar yang pernah tampil dalam pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung
Jerman menj elang akhir abad ke18. Lahir pada tanggal 22 April 1724 di
Konigsberg, sebuah kota kecil di Prussia Timur. Anak keempat dari seorang
pembuat pelana kuda Konigsberg yang setia dengan gerakan Pietisme. Immanuel
Kant berkembang dalam suasana kekristenan.
Pada usia delapan tahun Immanuel
Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Fredericanum sekolah yang
berlandaskan semangat Pietisme. Di sekolah ini ia mendalami bahasa Latin,
bahasa yang sering dipakai oleh kalangan terpelajar dan para ilmuwan saat itu
untuk mengungkapkan pemikiran mereka.
Immanuel Kant belajar hampir semua
mata kuliah yang diberikan di universitas kotanya. Karena alasan keuangan, Kant
kuliah sambil bekerja. Kant menjadi guru pribadi di beberapa keluarga kaya di
Konigsberg. Di universitasnya dia berkenalan baik dengan Martin Knutzen
(1713-1751), dosen yang mempunyai pengaruh besar terhadap Kant. Knutzen adalah
seorang murid dari Chistian Von Wolff (1679-1754), dan seorang profesor logika
dan metafisika. Meskipun demikian, ia menaruh minat khusus pada ilmu alam, dan
sanggup mengajarkan fisika, astronomi dan matematika.
Tahun 1755, Immanuel Kant memperoleh
gelar “Doktor” dengan disertasi berjudul “Penggambaran Singkat dari Sejumlah
Pemikiran Mengenai Api” (Meditationum Quarundum de Igne Succinta Delineatio),
sebuah karya di bidang ilmu alam. Setelah itu, Immanuel Kant bekerja
sebagai privatdozent di Konigsberg dengan mengajarkan mata kuliah:
metafisika, geografi, pedagogi, fisika dan matematika, logika, filsafat,
teologi, ilmu falak, dan mineralogi. Kant dijuluki dengan “Sang Guru yang
Cakap” (Der Schone Magister) karena cara mengajarnya hidup dengan
kepandaian seorang orator. Immanuel Kant mampu menggerakkan pikiran dan
perasaan para pendengarnya, dan dengan ketajaman pikirannya
Pada bulan Maret 1770, Immanuel Kant
memperoleh gelar profesor logika dan metafisika dari Universitas Konigsberg
dengan disertasi “Mengenai Bentuk dan Azas-azas dari Dunia Inderawi dan
Budiah” (De Mundi Sensibilis Atgue Intelligibilis Forma et Principlis).
Kehidupan Immanuel Kant sebagai
filsuf dapat dibagi menjadi dua periode yakni zaman Pra-Kritis dan Kritis.
Kehidupan Immanuel Kant sebagai privatdozent dari tahun 1755-1770 di
atas dikenal dengan zaman Pra-Kritis. Pada zaman Pra-Kritis Kant menganut
pendirian rasionalistisnya Wolff dan kawan-kawannya. Kemudian terpengaruh
dengan konsep empiris Hume, dan berangsur-angsur meninggalkan Rasionalisme.
Immanuel Kant mengatakan, Hume-lah yang telah membangunkan diri dari tidur
dogmatisnya, yang menyusul ialah zaman Kritis. Dalam zaman kedua ini Kant
mengubah wajah filsafat secara radikal dengan filsafat Kritisismenya dan ia
mempertentangkan Kritisisme dengan Dogmatisme.
Immanuel Kant membujang seumur
hidupnya, mungkin ia berpikir seperti Nietsche yang berpandangan bahwa kawin
akan merintangi pencapaian kebenaran, atau Telleyrand yang berpendapat bahwa
orang yang kawin akan melakukan apa saja demi uang. Pada umur 22 tahun,
Immanuel Kant menyatakan “saya sudah menetapkan jalan yang pasti, saya ingin
berlajar, tidak satupun yang dapat menghalangi saya dalam mencapai tujuan itu”.
Menurut salah seorang penulis
biografi, kehidupan Kant berlangsung menurut aturan yang tegas, bangun, minum
kopi, menulis, memberi kuliah, makan, jalan-jalan, masing-masing mempunyai
waktunya sendiri. Lalu Kant muncul dari pintu rumahnya, berjalan menuju jalan
kecil di bawah pepohonan yang rindang yang sering disebut Tempat Jalan-jalan
Sang Filosof.
Kemudian pada tahun 1796 M, Immanuel
Kant berhenti memberi kuliah dengan alasan usia tua, pada tahun 1798 M
kesehatannya mulai menurun. Akhirnya pada tanggal 12 Februari 1804 Kant
meninggal dunia pada usia 80 tahun dalam keadaan pikun. Banyak pelayat
berdatangan dari segenap penjuru Konigsberg, dan seluruh Jerman. Jenazahnya
dikuburkan di perkuburan kota. Kubur itu kemudian rusak dan diperbaiki pada
tahun 1881, pada tahun 1924, pada peringatan 200 tahun kelahiran Kant,
sisa-sisa tulang-belulangnya dipindahkan ke serambi katedral di pusat kota
Konigsberg.
2.
PEMIKIRAN
TOKOH
Pemikiran Descartes
Teori Tentang
Pengetahuan
Descartes
berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah dari dalam diri
manusia itu sendiri. Descartes mengatakan bahwa kemampuan berpikir manusia yang
sekarang tidak lagi semurni dan sekokoh sebagaimana jika manusia menggunakan
nalarnya sendiri sejak dilahirkan karena sejak kecil cara berpikir manusia
sudah dipengaruhi oleh cara berpikir orang lain yang ditanamkan melalui
pendidikan.
Dalam
buku Filsafat dan Iman Kristen 1 diakatakan bahwa prinsip pertama Descartes
memutuskan “tidak akan pernah mau menerima atau menganggap benar sesuatu yang
saya tidak tahu dengan jelas itu memang benar demikian”. Tujuannya adalah agar
manusia tidak terperangkap dengan semua pengetahuan yang salah yang diterimanya
selama ini dari luar dan berusaha untuk mencari kebenaran yang pasti dengan
nalar yang dimiliki manusia itu sendiri sehingga tidak ada lagi kemungkinan
manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang salah.
Dalam bukunya Risalah tentang Metode, Descartes mengemukakan empat prinsip yang dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar benar dan tidak dapat diragukan atau disangsikan lagi, yaitu :
Dalam bukunya Risalah tentang Metode, Descartes mengemukakan empat prinsip yang dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar benar dan tidak dapat diragukan atau disangsikan lagi, yaitu :
1.
Tidak
pernah menerima apapun sebagai benar kecuali jika saya mengetahuinya secara
jelas bahwa hal itu memang benar, artinya menghindari secara hati-hati
penyimpulan yang terlalu cepat dan praduga, dan tidak memasukkan apapun dalam
pikiran saya kecuali apa yang tampil sedemikian jelas dan gamblang di dalam
nalar saya, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya.
2.
Memilah
satu per satu kesulitan yang akan saya telaah menjadi bagian-bagian kecil
sebanyak mungkin atau sejumlah yang diperlukan, untuk memudahkan
penyelesaiannya.
3.
Berpikir
secara runtut dengan mulai dari objek-objek yang paling sederhana dan paling
mudah dikenali, lalu meningkat sedikit demi sedikit sampai ke masalah yang
paling rumit, dan bahkan dengan menata dalam urutan objek-objek yang secara
alami tidak beraturan.
4.
Membuat
perincian yang selengkap mungkin dan pemeriksaan yang demikian menyeluruh
sampai saya yakin bahwa tidak ada yang terlupakan.
Descartes
juga mengatakan
“rantai
panjang dari pertimbangan yang sederhana dan mudah yang biasa dipakai oleh para
ahli ilmu ukur untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan dari pemaparan-pemaparan
mereka yang paling sulit, telah memimpin saya membayangkan bahwa segala
sesuatu, sejauh pengetahuan manusia sanggup mencapainya, saling berhubungan
dengan cara yang sama, dan bahwa tidak ada sesuatupun yang terlalu terpencil
dari kita sehingga berada di luar jangkauan kita, atau terlalu tersembunyi
sehingga kita tidak dapat menemukannya, asal saja kita menghindarkan diri dari
menerima hal yang salah sebagai benar, dan senantiasa melindungi dalam pikiran
kita aturan yang perlu untuk pengambilan kesimpulan (deduksi) mengenai satu
kebenaran dari yang lainnya”. Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa Descartes menganggap benar bahwa segala pengetahuan bersumber dari rasio
manusia. Bahwa tidak ada satupun hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia
asalkan manusia mau menggunakan nalarnya.
Descartes
ingin mendapatkan kebenaran yang benar-benar benar sehingga kebenaran tersebut
tidak dapat lagi dibantahkan ataupun diragukan. Oleh karena itu, Descartes
memulainya dengan meragukan segala sesuatu yang diterimanya dari luar melalui
indera karena menurutnya ada kalanya indera menipu kita. Bahkan keberadaan
dirinya sendiri pun diragukannya juga karena menurutnya terkadang semua
pemikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang
tidur sehingga dia tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah dia sedang
bermimpi atau tidak.
Pada
akhirnya Descartes menemukan bahwa meskipun segala sesuatu dapat diragukannya,
satu hal yang tidak dapat diragukannya adalah fakta bahwa dia sedang ragu-ragu.
Descartes menemukan fakta bahwa dia sedang ragu-ragu adalah fakta yang tidak
dapat dibantah oleh siapapun atau apapun juga. Jika dia sedang ragu-ragu, maka
hal itu berarti membuktikan bahwa dia sedang berpikir. Jika dia tahu bahwa dia
sedang berpikir, maka haruslah ada sang pemikir, yaitu dirinya sendiri. Jika
pemikir harus ada, maka dirinya pun harus ada. Bahkan ketika dia membayangkan
seolah-olah dirinya sama sekali tidak memiliki badan dan tidak ada dunia
ataupun ruang tempat dia berada, hal itu justru membuktikan dengan jelas dan
pasti bahwa dia ada. Hal ini kemudian menjadi aksiomanya yang paling terkenal,
“cogito ergo sum” yang artinya “saya berpikir, maka saya ada”. Akhirnya, hal
ini menjadi prinsip pertama dari filsafatnya. Hal ini dijelaskannya dalam
bukunya Risalah tentang Metode.
Pada
akhirnya dapat disimpulkan bahwa filsafat Descartes dilandasi oleh pencarian
suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal oleh siapapun atau apapun dengan
cara berpikir dan bernalar dengan rasio yang murni yang berasal dari dalam diri
manusia itu sendiri. Metode meragukan segala sesuatu di awal adalah cara untuk
mendapatkan pengetahuan dengan lebih terperinci sehingga lebih jelas dan benar.
Pemikiran Hume
Teori Hume Tentang
Pengalaman dan Kausalitas (Sebab-Akibat).
Teori Hume tentang pengalaman dimulai dengan
ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita dapat dipecah menjadi dua kategori
yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah kesan (impression) menunjuk
kepada semua persepsi kita yang lebih hidup ketika mendengar, melihat, merasa,
mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki. Kesan berbeda dari ide,
bukan di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan semangat, yang dengannya
keduanya menyentuh kita. Di sisi lain, ide adalah gambar yang didasarkan pada
memori kesan atau pikiran tentang kesan, yang terakhir ini sering melibatkan
kemampuan imajinasi kita yang memberi produk ide, yang mungkin kita memiliki
kaitan langsung di dalam wilayah kesan. Meskipun demikian, semua ide dasarnya
berasal dari kesan.
Hume menguraikan dan menjelaskan
hubungan antara kesan dan ide dengan menyatakan bahwa keduanya dipandang dari
segi simplisitas atau kompleksitasnya, dapat dibagi menjadi dua kategori.
Sebuah kesan yang kompleks tersusun atas kesan-kesan yang simpel. Selain itu,
setiap ide yang simple berasal dari kesan tunggal yang berhubungan secara
langsung. Di sisi lain, sebuah ide kompleks tidak perlu berasal dari sebuah
kesan kompleks. Sebaliknya, ide-ide kompleks dapat dikembangkan dari variasi
kesan simpel atau kompleks, atau ide-ide kompleks itu dapat disusun dari
ide-ide simple. Dalam penyelidikan Hume, ternyata banyak ide yang kompleks yang
tidak memiliki kesan yang berhubungan dengan ide itu. Banyak pula kesan yang
kompleks yang tidak direkam dalam ide kita. kita tidak dapat menggambarkan
suatu kota yang belum pernah saya lihat. Akan tetapi saya pernah melihat kota
Paris, namun kita harus mengatakan kita tidak sanggup membentuk ide tentang
kota Paris yang lengkap dengan gedung-gedung, jalan dan lain-lain lengkap
dengan ukuran masing-masing. Untuk mengetahui apakah sesuatu yang kita sangka
pengetahuan adalah benar-benar pengetahuan, kita harus mengurai ide yang
kompleks menjadi ide-ide yang sederhana dan kemudian menemukan kesan yang
merupakan basis ide tersebut. Bila kita mengatakan kita melihat sebuah “apel”, kita
menganalisis pengalaman kita. Ide kita adalah ada sebuah apel ditentukan oleh
penglihatan kita pada warna merah, bentuk bulat, rasa apel, dan seterusnya.
Selanjutnya, Hume sangat tertarik pada relasi sebab dan akibat karena semua pertimbangan yang berkenaan dengan masalah fakta tampak didasarkan pada relasi sebab dan akibat.
Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih
memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika atau kemestian sebab-akibat.
Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan
terjadi seperti, api membuat api mendidih. Padahal dalam api tidak dapat
diamati adanya daya aktif yang mendidihkan air.
Menurut Hume, pengalamanlah yang memberi
informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang diamati sesuai waktu dan
tempat. Roti yang telah saya makan, kata Hume, mengenyangkan saya, artinya
bahwa tubuh dengan bahan ini dan pada waktu itu memiliki rahasia kekuatan untuk
mengenyangkan. Namun, roti tersebut belum tentu bisa menjadi jaminan yang pasti
pada waktu yang akan datang karena roti itu unsurnya telah berubah karena
tercemar dan kena polusi dan situasipun tidak sama lagi dengan makan roti yang
pertama. Jadi, pengalaman adalah sumber informasi bahwa roti itu mengenyangkan,
untuk selanjutnya hanya kemungkinan belaka bukan kepastian.
Pemikiran Immanuel
Kant
Bagi Kant ilmu
pengetahuan dalam bekerja harus memenuhi syarat obyektif maupun subyektif
(Awuy, 1993).
Kant mengubah
wajah filsafat secara radikal dengan titik sentral manusia sebagai subjek
berpikir terinspirasi dari Copernican Revolution yakni revolusi pemikiran yang
dilakukan Kant dalam mencari sumber pengetahuan pada diri manusia, khususnya
mengenai fenomena yang mementingkan kesadaran subjek yang kemudian melahirkan
idealisme yang memuncak pada Hegel. Juga mengenai apriori telah melahirkan
sentralitas subjek sebagai penentu kebenaran sebuah pengetahuan.
Dengan
revolusi ini, filsafat Kant tidak dimulai dengan penyelidikan benda sebagai
objek, tetapi dengan menyelidiki struktur-struktur subyek yang memungkinkan
benda-benda diketahui sebagai obyek. Dulunya para filsuf mencoba memahami
pengenalan dengan mengandaikan bahwa subyek mengarahkan diri kepada obyek
(Dister, 1992).
Filsafat menurut
Immanuel Kant adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari
segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan:
1) apakah yang
dapat kita kerjakan (jawabannya metafisika)
2)apakah yang
seharusnya kita kerjakan (etika)
3) sampai di
manakah harapan kita (agama)
4) apakah yang
dinamakan manusia (antropologi).
Filsafat tidak
lain dari pengetahuan tentang segala yang ada (Plato). Filsafat adalah ilmu
(pengetahuan) meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu
metafisika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (Aristoteles).
Modernisme ialah
konsep yang berhubungan dengan hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya di
zaman modern.
Konsep modernisme ini meliputi banyak bidang ilmu (termasuk seni dan sastra)
dan setiap bidang ilmu tersebut memiliki perdebatan mengenai apa itu
‘modernisme’. Walaupun demikian, ‘modernisme’ pada umumnya dilihat sebagai
reaksi individu dan kelompok terhadap dunia ‘modern’, dan dunia modern ini
dianggap sebagai dunia yang dipengaruhi oleh praktik dan teori kapitalisme,
industrialisme, dan negara-bangsa
(Wikipedia).
Kant menganggap
kondisi tertentu dalam pikiran manusia ikut menentukan konsepsi. Apa yang kita
lihat dianggap sebagai fenomena dalam ruang dan waktu yang disebut bentuk
intuisi, mendahului setiap pengalaman. Untuk pengenalan, Kant berargumen bahwa
obyek mengarahkan diri ke subyek. Tidak seperti filsuf sebelumnya yang mencoba
mengerti pengenalan dengan mengandaikan bahwa subyek mengarahkan diri ke obyek.
Pengetahuan
merupakan sintesa dari unsur-unsur yang ada sebelum pengalaman yakni
unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yaitu
unsur-unsur aposteriori. Proses sintesis ini terjadi dalam tiga tahap..
Pertama,
pencerapan indrawi (sinneswahrehmung) Menurut Kant
pencerapan inderawi adalah tingkat pengetahuan manusia pertama dan terendah.
Data-data inderawi harus di buktikan dulu dengan 12 kategori, baru dapat di
putuskan. Demikian proses kritisisme rasionalisme ala Immanuel Kant. Metodologi
ini kemudian dikenal dengan metode induksi, dari partikular data-data terkecil
baru mencapai kesimpulan universal.
Kedua,
akal budi (verstand) Tugas akal budi adalah menyusun dan
menghubungkan data-data inderawi, sehingga menghasilkan keputusan-keputusan.
Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman
inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang disebut dengan
kategori. Dalam menerapkan kategori-kategori ini, akal budi bekerja sedemikian
rupa sehingga kategori-kategori itu hanya cocok dengan data-data yang
dikenainya saja. Melalui kategori, Kant seperti menjelaskan sahnya ilmu
pengetahuan alam.
Ketiga,
intelek atau rasio (versnunft). Menurut Kant
intelekt atau rasio (versnunft) adalah kemampuan asasi
(principien) yang menciptakan pengertian-pengertian murni dan mutlak karena
rasio memasukkan pengetahuan khusus ke dalam pengetahuan yang bersifat umum.
Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat
di bawahnya yakni akal budi (verstand) dan tingkat pengalaman
inderawi (senneswahnehmung).
Dalam dialektika
transendental Kant menyebut tiga ide rasio murni atau idea transendental yakni
idea psikis (jiwa), idea kosmologis (dunia), dan idea teologis (Tuhan). Ide
jiwa menyatakan dan mendasari segala gejala batiniah (psikis), ide dunia
menyatakan gejala jasmani, dan ide Tuhan mendasari semua gejala, baik yang
bersifat jasmani maupun rohani (psikis) (Kant, 1990).
Kant juga
beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus diandaikan supaya tingkah laku manusia
tidak menjadi mustahil. Kant meyebut tiga hal tersebut sebagai postulat
rasio praktis yaitu
1) Free will yakni kehendak yang
bebas
2) Keabadian jiwa yaitu immortalitas jiwa yang
menjelaskan bahwa manusia secara fisik mati, tetapi jiwa tak pernah mati.
Sehingga ide bersifat abstrak dan posisinya di atas segala sesuatu yang ada di
dunia.
3) Tuhan.
Setelah Immanuel
Kant memasuki masa kritis, ia mengubah pemikirannya lebih radikal. Ia menamakan
filsafatnya sebagai kritisisme dan mempertentangkannya dengan dogmatisme
(Guyer, 1995). Filsafat Kant disebut kritisisme karena ia tidak membenarkan
penggunaan kemampuan rasio semata-mata dalam memahami realitas pada dirinya.
Menurut Kant rasio memiliki keterbatasan yang hanya sampai pada dunia
penginderaan (fenomena).
Kritisisme dapat
disebut sebagai sintesa rasionalisme dan empirisme yang secara prinsip
dituangkan Kant dalam buku Critique of Pure Reason. Rasionalisme
dan empirisme mempunyai pengaruh besar filsafat modern (1500-1900).
Pengandaian-pengandaian terhadap sistem pengetahuan tidak bisa begitu saja
terlepas dari dua aliran ini yang saling bertentangan. Pertentangan dan
perdebatan antara kedua aliran ini yang disebut antinomy
berusaha didamaikan Kant.
Rasionalisme
modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme
kontinental René
Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan
rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal
yang ditentang rasionalisme kontinental.
empirisme harus
dilandasi dengan teori-teori rasionalisme sebelum di anggap sah melalui
epistomologi. Karena Kant menganggap empirisme (pengalaman) itu bersifat
relatif bila tanpa ada landasan teorinya. Misalnya air akan mendidih jika dipanaskan
berlaku di daerah tropis. Tetapi jika di daerah kutub bersuhu di bawah 0
derajat, air yang dipanaskan tidak akan mendidih karena air akan menjadi
dingin.
Rasionalisme
dalam kehidupan modern adalah pengaruh pemikiran Immanuel Kant. Rasional pada tingkat
teoretis harus mempunyai dasar yang jelas (fundationalistik). Rasional pada
tingkat praktis harus bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan nalar. Agama
berdasarkan rasional tidak mungkin. Agama bernilai karena memberi dasar moral.
5.
KRITIK
TERHADAP PEMIKIRAN TOKOH
DESCARTES
Hal yang ingin kami kritisi disini
adalah perkataan Descartes yang mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang
begitu terpencil atau begitu tersembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh
manusia asalkan manusia mau menggunakan nalarnya. Apakah memang nalar manusia
demikian tidak terbatasnya sehingga semua pengetahuan bisa dijangkau?. Hal ini
tentu tidak benar karena manusia adalah mahkluk yang terbatas dan hanya
Tuhanlah yang tidak terbatas.
Tidak semua hal di dunia ini bisa dimengerti oleh pemikiran kita. Kita hanyalah manusia yang terbatas. Hanya Allah yang tidak terbatas. Jika kita mau mencari kebenaran yang absolut, sampai kapan pun kita tidak akan menemukannya karena kebenaran yang absolut hanya dimiliki oleh Allah. Oleh karena itu, janganlah kita bersandar hanya pada pengertian kita sendiri melainkan melandaskannya pada Tuhan.
Pemikiran Hume
Hume mengkritik
keras ketiga bukti keberadaan Tuhan yang disampaikan Descartes. Dua bukti
pertama Descartes mengenai keberadaan Tuhan adalah bukti sebab-akibat. Keduanya
membuktikan bahwa Tuhan ada sebagai satu-satunya sebab munculnya gagasanku
mengenai Dia dan munculnya gagasan mengenai keberadaanku sebagai benda yang
berpikir. Namun kita tidak mempunyai kesan indera mengenai Tuhan sebagai suatu
sebab, kita juga tidak mempunyai kesan apapun mengenai benda berpikir sebagai
akibat. Apalagi, pada kedua bukti sebab-akibat mengenai keberadaan Tuhan ini,
Descartes mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan pemikiran bahwa sebab
harus sama nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes gagasan ini sangat jelas
sehingga tidak ada pikiran rasional apapun yang bisa meragukannya, namun bagi
Hume gagasan ini sangatlah tidak berarti. Gagasan tersebut tidak memunculkan
baik landasan rasional maupun empiris untuk kausalitas. Adapun bukti ketiga
mengenai keberadaan Tuhan, yang dimunculkan pada buku “Meditation Descartes”
menggunakan bukti ontologis yang dikemukakan Saint Anselm di abad XI. Bukti itu
mengemukakan ide bawaan mengenai Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan
oleh karena itu pasti memiliki kesempunaan pada wujud-Nya. Bukti ini sampai
pula pada kesimpulan bahwa Tuhan itu memang ada. Hume meruntuhkan bukti ini
dengan pertama-tama mengingatkan kita bahwa filsuf empirisme seperti John Locke
telah menunjukan tidak ada yang namanya ide bawaan, kita hanya memiliki gagasan
yang muncul dari pengalaman kesan. Bukti ontologis Saint Anselm mengenai
keberadaan Tuhan menyatakan bahwa ide ketuhanan itu dengan sendirinya terbukti
dalam akal pikiran: Tuhan mempunyai segala kesempurnaan, Dia Maha Tahu, Maha
Kuasa, dan Maha Baik. Oleh karena itu, Dia tak mungkin kurang sempurna dalam
keberadaan-Nya. Hume menjawabnya dengan uji empiris atas gagasan: jika tidak
ada kesan dalam pengalaman, gagasan itu tidaklah bermakna, tak berarti. Namun
kita tidak bisa mempunyai kesan indera atas zat supranatural, dengan demikian
ide ketuhanan tidak lulus dalam uji empiris.
Hume menyangkal dalam bukunya “Dialogues Concerning Natural Religion”, dia menggunakan bentuk dialog Plato untuk menjatuhkan Deisme. Tiga karakter memerankan masing-masing sebagai seorang penganut Kristen yang alim, dan sangat ortodok; seorang pengikut Deisme yang mendukung agama yang alami, rasional dan memiliki keterkaitan dengan sains; serta seorang penganut skeptisme yang meremehkan keduanya. Suara Hume tertuang dalam Philo yang skeptis, yang suka mempermainkan orang, khususnya penganut Deisme yang menyatakan memiliki agama yang alami dan rasional. Kesan dari indera kita, kata Philo si skeptis, menjadi landasan bagi pengetahuan ilmiah kita, dan kesan ini tidak memberikan bukti bagi pernyataan bahwa alam semesta ini secara sempurna teratur dan harmonis, juga tidak menjamin bahwa keteraturan semacam itu akan berlanjut selamanya.
Hume berkata, perhatikan dengan seksama dunia ini dan lihat apakah ini merupakan karya arsitek yang Maha Kuasa dan Maha Bisa. Jika seorang arsitek menunjukan pada anda “sebuah rumah atau istana dimana tidak ada satu ruangpun yang layak, dimana jendela, pintu, tungku, gang, tangga dan keseluruhan bangunan ekonominya merupakan sumber keributan, kebingungan, kelelahan, kegelapan, dan ekstremnya panas dan dingin, anda tentu akan menyalahkan alatnya, anda akan mengemukakan pembelaan yakni jika saja arsiteknya memiliki keahlian dan maksud yang baik, mungkin dia telah membetulkan semua atau sebagian besar ketidak layakan ini”. Dalam alam manusia, tambah Hume, apakah anda menemukan bukti bahwa dunia ini dirancang dengan baik oleh perancang yang baik dan penyayang? Lalu bagaimana anda menjelaskan kesedihan, rasa sakit, dan kejahatan dalam kehidupan manusia? Perhatikan sekeliling alam ini, perhatikan lebih dekat makhluk hidup ini betapa mereka saling menjahati dan merusak, betapa terkutuk dan jahatnya bagi yang melihat alam yang buta, menyembul dari pengakuan tanpa ada perhatian dan kepedulian, anaknya yang terluka dan buruk. Dengan ungkapan Hume ini, maka dia sebenarnya telah meragukan eksistensi akan keberadaan Tuhan itu sendiri karena menurut Hume, eksistensi Tuhan itu tidak dapat ditangkap lewat kesan pengalaman, sehingga eksistensi tidak dapat diragukannya.
Hume mengkritik
keras ketiga bukti keberadaan Tuhan yang disampaikan Descartes. Dua bukti
pertama Descartes mengenai keberadaan Tuhan adalah bukti sebab-akibat. Keduanya
membuktikan bahwa Tuhan ada sebagai satu-satunya sebab munculnya gagasanku
mengenai Dia dan munculnya gagasan mengenai keberadaanku sebagai benda yang
berpikir. Namun kita tidak mempunyai kesan indera mengenai Tuhan sebagai suatu
sebab, kita juga tidak mempunyai kesan apapun mengenai benda berpikir sebagai
akibat. Apalagi, pada kedua bukti sebab-akibat mengenai keberadaan Tuhan ini,
Descartes mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan pemikiran bahwa sebab
harus sama nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes gagasan ini sangat jelas
sehingga tidak ada pikiran rasional apapun yang bisa meragukannya, namun bagi
Hume gagasan ini sangatlah tidak berarti. Gagasan tersebut tidak memunculkan
baik landasan rasional maupun empiris untuk kausalitas. Adapun bukti ketiga
mengenai keberadaan Tuhan, yang dimunculkan pada buku “Meditation Descartes”
menggunakan bukti ontologis yang dikemukakan Saint Anselm di abad XI. Bukti itu
mengemukakan ide bawaan mengenai Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan
oleh karena itu pasti memiliki kesempunaan pada wujud-Nya. Bukti ini sampai
pula pada kesimpulan bahwa Tuhan itu memang ada. Hume meruntuhkan bukti ini
dengan pertama-tama mengingatkan kita bahwa filsuf empirisme seperti John Locke
telah menunjukan tidak ada yang namanya ide bawaan, kita hanya memiliki gagasan
yang muncul dari pengalaman kesan. Bukti ontologis Saint Anselm mengenai
keberadaan Tuhan menyatakan bahwa ide ketuhanan itu dengan sendirinya terbukti
dalam akal pikiran: Tuhan mempunyai segala kesempurnaan, Dia Maha Tahu, Maha
Kuasa, dan Maha Baik. Oleh karena itu, Dia tak mungkin kurang sempurna dalam
keberadaan-Nya. Hume menjawabnya dengan uji empiris atas gagasan: jika tidak
ada kesan dalam pengalaman, gagasan itu tidaklah bermakna, tak berarti. Namun
kita tidak bisa mempunyai kesan indera atas zat supranatural, dengan demikian
ide ketuhanan tidak lulus dalam uji empiris.
Hume menyangkal dalam bukunya “Dialogues Concerning Natural Religion”, dia menggunakan bentuk dialog Plato untuk menjatuhkan Deisme. Tiga karakter memerankan masing-masing sebagai seorang penganut Kristen yang alim, dan sangat ortodok; seorang pengikut Deisme yang mendukung agama yang alami, rasional dan memiliki keterkaitan dengan sains; serta seorang penganut skeptisme yang meremehkan keduanya. Suara Hume tertuang dalam Philo yang skeptis, yang suka mempermainkan orang, khususnya penganut Deisme yang menyatakan memiliki agama yang alami dan rasional. Kesan dari indera kita, kata Philo si skeptis, menjadi landasan bagi pengetahuan ilmiah kita, dan kesan ini tidak memberikan bukti bagi pernyataan bahwa alam semesta ini secara sempurna teratur dan harmonis, juga tidak menjamin bahwa keteraturan semacam itu akan berlanjut selamanya.
Hume berkata, perhatikan dengan seksama dunia ini dan lihat apakah ini merupakan karya arsitek yang Maha Kuasa dan Maha Bisa. Jika seorang arsitek menunjukan pada anda “sebuah rumah atau istana dimana tidak ada satu ruangpun yang layak, dimana jendela, pintu, tungku, gang, tangga dan keseluruhan bangunan ekonominya merupakan sumber keributan, kebingungan, kelelahan, kegelapan, dan ekstremnya panas dan dingin, anda tentu akan menyalahkan alatnya, anda akan mengemukakan pembelaan yakni jika saja arsiteknya memiliki keahlian dan maksud yang baik, mungkin dia telah membetulkan semua atau sebagian besar ketidak layakan ini”. Dalam alam manusia, tambah Hume, apakah anda menemukan bukti bahwa dunia ini dirancang dengan baik oleh perancang yang baik dan penyayang? Lalu bagaimana anda menjelaskan kesedihan, rasa sakit, dan kejahatan dalam kehidupan manusia? Perhatikan sekeliling alam ini, perhatikan lebih dekat makhluk hidup ini betapa mereka saling menjahati dan merusak, betapa terkutuk dan jahatnya bagi yang melihat alam yang buta, menyembul dari pengakuan tanpa ada perhatian dan kepedulian, anaknya yang terluka dan buruk. Dengan ungkapan Hume ini, maka dia sebenarnya telah meragukan eksistensi akan keberadaan Tuhan itu sendiri karena menurut Hume, eksistensi Tuhan itu tidak dapat ditangkap lewat kesan pengalaman, sehingga eksistensi tidak dapat diragukannya.
Immnuel kant
Dalam “Kritik
atas Rasio Murni” Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan bersifat
umum, mutlak, dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dahulu
membedakan adanya tiga macam pengetahuan atau keputusan yakni pertama,
keputusan analitis a priori yang menempatkan predikat
tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya
(misalnya, setiap benda menempati ruang).
Kedua,
keputusan sintesis aposteriori dengan predikat
dihubungkan subjek berdasarkan pengalaman inderawi, karma dinyatakan setelah
mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.Misalnya
meja itu bagus.
Ketiga,
keputusan apriori menggunakan sumber pengetahuan yang bersifat
sintesis tetapi bersifat apriori juga. Misalnya keputusan “segala kejadian
mempunyai sebabnya”. Ilmu eksakta, mekanika, dan ilmu pengetahuan alam
disusun atas putusan sintesis bersifat apriori. Kant menyebut keputusan
jenis ketiga sebagai syarat dasar sebuah pengetahuan (ilmiah) dipenuhi yakni
bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru.
Pengetahuan
merupakan sintesa dari unsur-unsur yang ada sebelum pengalaman yakni
unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yaitu
unsur-unsur aposteriori. Proses sintesis ini terjadi dalam tiga tahap.
Pertama,
pencerapan indrawi (sinneswahrehmung) Menurut Kant
pencerapan inderawi adalah tingkat pengetahuan manusia pertama dan terendah.
Data-data inderawi harus di buktikan dulu dengan 12 kategori, baru dapat di
putuskan. Demikian proses kritisisme rasionalisme ala Immanuel Kant. Metodologi
ini kemudian dikenal dengan metode induksi, dari partikular data-data terkecil
baru mencapai kesimpulan universal.
Menurut Immanuel
Kant, manusia sudah mendapatkan 12 kategori tersebut sejak lahir. Teori
ini terinspirasi dunia ide Plato. Immanuel Kant beranggapan bahwa data inderawi
manusia hanya bisa menentukan fenomena saja. Fenomena adalah sesuatu yang
tampak, hanya memperlihatkan fisiknya saja.
Kedua,
akal budi (verstand) Tugas akal budi adalah menyusun dan
menghubungkan data-data inderawi, sehingga menghasilkan keputusan-keputusan.
Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman
inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang disebut dengan
kategori. Dalam menerapkan kategori-kategori ini, akal budi bekerja sedemikian
rupa sehingga kategori-kategori itu hanya cocok dengan data-data yang
dikenainya saja. Melalui kategori, Kant seperti menjelaskan sahnya ilmu
pengetahuan alam.
Ketiga,
intelek atau rasio (versnunft). Menurut Kant
intelek atau rasio (versnunft)
adalah kemampuan asasi (principien) yang menciptakan pengertian-pengertian
murni dan mutlak karena rasio memasukkan pengetahuan khusus ke dalam
pengetahuan yang bersifat umum. Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari
pernyataan-pernyataan pada tingkat di bawahnya yakni akal budi (verstand)
dan tingkat pengalaman inderawi (senneswahnehmung).
BAB III
KESIMPULAN

-Hume mengkritik keras ketiga bukti keberadaan Tuhan yang disampaikan Descartes. Dua bukti pertama Descartes mengenai keberadaan Tuhan adalah bukti sebab-akibat. Keduanya membuktikan bahwa Tuhan ada sebagai satu-satunya sebab munculnya gagasanku mengenai Dia dan munculnya gagasan mengenai keberadaanku sebagai benda yang berpikir. Namun kita tidak mempunyai kesan indera mengenai Tuhan sebagai suatu sebab, kita juga tidak mempunyai kesan apapun mengenai benda berpikir sebagai akibat. Apalagi, pada kedua bukti sebab-akibat mengenai keberadaan Tuhan ini, Descartes mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan pemikiran bahwa sebab harus sama nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes gagasan ini sangat jelas sehingga tidak ada pikiran rasional apapun yang bisa meragukannya, namun bagi Hume gagasan ini sangatlah tidak berarti. Gagasan tersebut tidak memunculkan baik landasan rasional maupun empiris untuk kausalitas. Adapun bukti ketiga mengenai keberadaan Tuhan, yang dimunculkan pada buku “Meditation Descartes” menggunakan bukti ontologis yang dikemukakan Saint Anselm di abad XI. Bukti itu mengemukakan ide bawaan mengenai Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan oleh karena itu pasti memiliki kesempunaan pada wujud-Nya. Bukti ini sampai pula pada kesimpulan bahwa Tuhan itu memang ada. Hume meruntuhkan bukti ini dengan pertama-tama mengingatkan kita bahwa filsuf empirisme seperti John Locke telah menunjukan tidak ada yang namanya ide bawaan, kita hanya memiliki gagasan yang muncul dari pengalaman kesan. Bukti ontologis Saint Anselm mengenai keberadaan Tuhan menyatakan bahwa ide ketuhanan itu dengan sendirinya terbukti dalam akal pikiran: Tuhan mempunyai segala kesempurnaan, Dia Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Maha Baik. Oleh karena itu, Dia tak mungkin kurang sempurna dalam keberadaan-Nya. Hume menjawabnya dengan uji empiris atas gagasan: jika tidak ada kesan dalam pengalaman, gagasan itu tidaklah bermakna, tak berarti. Namun kita tidak bisa mempunyai kesan indera atas zat supranatural, dengan demikian ide ketuhanan tidak lulus dalam uji empiris.
-Hume sangat tertarik pada relasi sebab dan akibat karena semua pertimbangan yang berkenaan dengan masalah fakta tampak didasarkan pada relasi sebab dan akibat.
Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika atau kemestian sebab-akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti, api membuat api mendidih. Padahal dalam api tidak dapat diamati adanya daya aktif yang mendidihkan air.

-Menurut Immanuel Kant, manusia sudah mendapatkan 12 kategori tersebut sejak lahir. Teori ini terinspirasi dunia ide Plato. Immanuel Kant beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa menentukan fenomena saja. Fenomena adalah sesuatu yang tampak, hanya memperlihatkan fisiknya saja.
-Kant mengubah wajah filsafat secara radikal dengan titik sentral manusia sebagai subjek berpikir terinspirasi dari Copernican Revolution yakni revolusi pemikiran yang dilakukan Kant dalam mencari sumber pengetahuan pada diri manusia, khususnya mengenai fenomena yang mementingkan kesadaran subjek yang kemudian melahirkan idealisme yang memuncak pada Hegel. Juga mengenai apriori telah melahirkan sentralitas subjek sebagai penentu kebenaran sebuah pengetahuan

-filsafat Descartes dilandasi oleh pencarian suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal oleh siapapun atau apapun dengan cara berpikir dan bernalar dengan rasio yang murni yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri. Metode meragukan segala sesuatu di awal adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan lebih terperinci sehingga lebih jelas dan benar.
-Descartes ingin mendapatkan kebenaran yang benar-benar benar sehingga kebenaran tersebut tidak dapat lagi dibantahkan ataupun diragukan. Oleh karena itu, Descartes memulainya dengan meragukan segala sesuatu yang diterimanya dari luar melalui indera karena menurutnya ada kalanya indera menipu kita. Bahkan keberadaan dirinya sendiri pun diragukannya juga karena menurutnya terkadang semua pemikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur sehingga dia tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah dia sedang bermimpi atau tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar