Sabtu, 25 Oktober 2014

Tokoh Filsafat RENE DESCARTES, DAVID HUME, IMMANUEL KANT

BAB I
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG


Filsafat pada zaman modern lahir karena adanya upaya keluar dari kekangan pemikiran kaum agamawan di zaman skolastik. Salah satu orang yang berjasa dalam membangun landasan pemikiran baru di dunia barat adalah Rene Descartes. Descartes menawarkan sebuah prosedur yang disebut keraguan metodis universal dimana keraguan ini bukan menunjuk kepada kebingungan yang berkepanjangan, tetapi akan berakhir ketika lahir kesadaran akan eksisitensi diri yang dia katakan dengan cogito ergo sum (saya berpikir, maka saya ada). Teori pengetahuan yang dikembangkan Rene Descartes ini dikenal dengan nama rasionalIsme karena alur pikir yang dikemukakan Rene Descartes bermuara kepada kekuatan rasio (akal) manusia. Sebagai reaksi dari pemikiran rasionalisme Descartes inilah muncul para filosof yang berkembang kemudian yang bertolak belakang dengan Descartes yang menganggap bahwa pengetahuan itu bersumber pada pengalaman. Mereka inilah yang disebut sebagai kaum empirisme. Di antaranya yaitu John Locke, Thomas Hobbes, George Barkeley, dan David Hume.

Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme sendiri diambil dari bahasa Yunani yakni Empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Empirisme memilih sumber utama pengetahuan bukan dari rasio melainkan pengalaman. Empirisme menurut wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan.





ISI

1.                   BIOGRAFI TOKOH

RENE DESCARTES

Descartes filosof Perancis yang lahir pada tahun 1596 dan wafat pada tahun 1650, ia merupakan seorang tokoh filsafat yang beragama Katolik. Ayah Descartes merupakan ketua parlemen Inggris dan memiliki tanah yang cukup luas. Setelah ayahnya meninggal, Descartes mewarisi tanah tersebut, ia menjual tanah warisan itu dan menginvestasikan uangnya dengan pendapatan enam atau tujuh ribu franc per tahun. Dia mengecam pendidikan matematika modern di sebuah universitas yang bernama Jesuit di La Flѐche pada tahun 1604-1612, yang nampaknya telah memberikan dasar-dasar matematika modern yang lebih baik daripada yang bisa diperolehnya di kebanyakan universitas pada saat itu.(Russell. 2004. 733). Setelah pindah ke Paris pada tahun 1612 - karena bosan dengan kehidupan sosial di Paris - dia mengasingkan diri di daerah terpencil yang bernama Fauborg St. Germain untuk menekuni geometri.
Namun teman-temannya berhasil menemukanya, maka untuk lebih menyembunyikan diri ia mendaftar sebagai tentara Belanda. Ketika Belanda dalam keadaan damai, dia tampak menikmati meditasinya selama 2 tahun. Akan tetapi meletusnya perang Bavaria pada tahun 1619 mendorongnya untuk kembali mendaftarkan diri sebagai seorang tentara. Di Bavaria inilah selama musim dingin 1619-1620 ia mendapatkan pengalaman yang dituangkanya ke dalam buku Discourse de la Mѐthode. Karena cuaca dingin, pada pagi hari ia masuk ke dalam perapian (stove) dan berdiam diri di sana sepanjang hari untuk bermeditasi. (Russell. 2004. 733). Menurut ceritanya sendiri, setengah filsafatnya telah selesai ketika dia keluar, akan tetapi pernyataan tersebut masih belum dapat dipahami karena terlalu harfiah. Socratees dahulu bermeditasi sepanjang hari ketika musim dingin dan bersalju, akan tetapi Descartes hanya bekerja ketika tubuhnya merasa hangat.Pada tahun 1628 dia kembali menjadi tentara untuk menyerbu La Rochelle, kubu pertahanan Huguenot; ketika perang ini selesai dia memutuskan untuk tinggal di Belanda.
Dia tinggal di Belanda selama dua puluh tahun (1629-1649). Descartes sebenarnya ingin hidup damai. Hal ini terbukti dengan kedekatanya akan kaum gerejawan, khususnya kaum Jesuit – demi kepentingan-kepentingan gereja itu sendiri, maupun kepentingan Descartes – untuk mengurangi kebencianya terhadap sains modern. Melalui Chanur, seorang duta besar Prancis di Stockholm, Descartes berkorespondensi dengan Ratu Christina di Swedia.  Descartes mengirimi sang ratu dengan karya-karyanya. Tulisan ini mendorong Ratu Christina untuk mengundang Descartes datang ke istana; akhirnya pada tahun 1649 Descartes datang ke istana dan dijemput oleh pasukan Ratu Christina. Ratu ingin memperoleh pelajaran dari Descartes, tetapi Ratu tidak meluangkan waktu kecuali pukul lima pagi. Bangun pagi pada musim dingin di Skandanavia bukanlah hal yang baik bagi seorang laki-laki lembut. Chanur sakit keras dan Descartes merawatnya. Duta besar ini sembuh, tetapi sebaliknya Descartes yang sakit dan akhirnya meninggal pada tahun 1650. Descartes tidak pernah menikah, akan tetap dia mempunyai seorang anak perempuan kandung yang meninggal pada usia lima tahun.

DAVID HUME

Hume lahir di Edinburg tahun 1711. Ayahnya meninggal ketika ia masih bayi, mewariskan pada keluarga sebuah perkebunan kecil. Hume adalah seorang murid yang sukses, dan sebagai anak muda, ia memiliki perhatian yang tinggi terhadap sastra dan filsafat. Ia cenderung untuk mengejar karir penelitian ilmiah dan menulis, tetapi pernah sesaat terlepas dari jalan ini oleh keluarganya yang mengajarkan bahwa ia cocok untuk profesi di bidang hukum dan membujuknya untuk belajar hukum. Usaha yang tidak berhasil ini hanya berumur singkat. Karena dihadapkan pada kebutuhan keuangan, Hume pergi ke Bristol dan bekerja di dunia bisnis selama beberapa bulan. Bagaimanapun, pekerjaan ini tidak disukainya. Maka, pada usia 23 tahun, Hume menerima uang dari keluarganya dan pergi ke Perancis untuk belajar dan menulis. Ia tinggal di sana hingga tahun 1737 dan menulis A Treatise of Human Nature. Hume memiliki harapan yang tinggi pada karya ini, tetapi penerbitan karya ini tidak banyak mendapat perhatian.
Meskipun patah semangat, karena buruknya penerimaan terhadap Treatise, Hume terus menulis. Di tahun 1741-1742 saat di Skotlandia, ia menerbitkan Essays, Moral and Political. Karya ini mendapatkan kesuksesan, dan Hume bersemangat untuk merevisi Treatise. Sementara itu, ia melamar kedudukan profesor filsafat di Universitas Edinburg, tetapi reputasinya sebagai seorang yang skeptis dan atheis telah merintangi pengangkatan tersebut.
Pada tahun 1751, revisi terakhir bagian pertama dan ketiga karya Treatise diterbitkan masing-masing dengan judul An Enquiry Concerning Human Understanding dan An Enquiry Concerning The Principles of Morals. Kira-kira pada saat yang sama, Hume menulis karya yang berjudul Dialogue Concerning Natural Religion. Dialogue menjelaskan sikap Hume tentang eksistensi Tuhan dan sifat agama. Namun atas saran teman yang memiliki perhatian terhadap sifat pandangannya yang radikal, Hume tidak jadi menerbitkan Dialogue. Dengan ketetapan dari kehendak Hume, karya itu diterbitkan setelah Hume meninggal di tahun 1779.
Antara tahun 1752-1757, Hume mengabdi sebagai petugas perpustakaan di Faculty of Advocates di Edinburg. Setelah mendapatkan sumber-sumber dari perpustakaan ini, Hume menulis tentang sejarah Inggris. Karya ini tidak hanya panjang, tetapi juga kontroversial. Bagaimanapun, sebagai akibatnya, semua tulisan Hume menjadi lebih dikenal dan karya-karya itu mendapat pujian luas dari beberapa kalangan. Pujian tersebut terutama datang dari kalangan intelektual Perancis dan ketika Hume pergi ke sana pada tahun 1763 sebagai sekretaris Duta Besar Inggris, ia menerima sambutan hangat. Ia kembali ke London di tahun 1766 bersama Rousseau, meskipun hubungan antara keduanya segera menegang. Setelah mengabdi selama tiga tahun di Undersecretary of State, Hume pensiun di Edinburg dan meninggal di sana tahun 1776.

IMMANUEL KANT

Immanuel Kant adalah seorang filsuf besar yang pernah tampil dalam pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung Jerman menj elang akhir abad ke­18. Lahir pada tanggal 22 April 1724 di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prussia Timur. Anak keempat dari seorang pembuat pelana kuda Konigsberg yang setia dengan gerakan Pietisme. Immanuel Kant berkembang dalam suasana kekristenan.
Pada usia delapan tahun Immanuel Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Fredericanum sekolah yang berlandaskan semangat Pietisme. Di sekolah ini ia mendalami bahasa Latin, bahasa yang sering dipakai oleh kalangan terpelajar dan para ilmuwan saat itu untuk mengungkapkan pemikiran mereka.
Immanuel Kant belajar hampir semua mata kuliah yang diberikan di universitas kotanya. Karena alasan keuangan, Kant kuliah sambil bekerja. Kant menjadi guru pribadi di beberapa keluarga kaya di Konigsberg. Di universitasnya dia berkenalan baik dengan Martin Knutzen (1713-1751), dosen yang mempunyai pengaruh besar terhadap Kant. Knutzen adalah seorang murid dari Chistian Von Wolff (1679-1754), dan seorang profesor logika dan metafisika. Meskipun demikian, ia menaruh minat khusus pada ilmu alam, dan sanggup mengajarkan fisika, astronomi dan matematika.
Tahun 1755, Immanuel Kant memperoleh gelar “Doktor” dengan disertasi berjudul “Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api (Meditationum Quarundum de Igne Succinta Delineatio), sebuah karya di bidang ilmu alam. Setelah itu, Immanuel Kant bekerja sebagai privatdozent di Konigsberg dengan mengajarkan mata kuliah: metafisika, geografi, pedagogi, fisika dan matematika, logika, filsafat, teologi, ilmu falak, dan mineralogi. Kant dijuluki dengan “Sang Guru yang Cakap” (Der Schone Magister) karena cara mengajarnya hidup dengan kepandaian seorang orator. Immanuel Kant mampu menggerakkan pikiran dan perasaan para pendengarnya, dan dengan ketajaman pikirannya
Pada bulan Maret 1770, Immanuel Kant memperoleh gelar profesor logika dan metafisika dari Universitas Konigsberg dengan disertasi “Mengenai Bentuk dan Azas-azas dari Dunia Inderawi dan Budiah” (De Mundi Sensibilis Atgue Intelligibilis Forma et Principlis).
Kehidupan Immanuel Kant sebagai filsuf dapat dibagi menjadi dua periode yakni zaman Pra-Kritis dan Kritis. Kehidupan Immanuel Kant sebagai privatdozent dari tahun 1755-1770 di atas dikenal dengan zaman Pra-Kritis. Pada zaman Pra-Kritis Kant menganut pendirian rasionalistisnya Wolff dan kawan-kawannya. Kemudian terpengaruh dengan konsep empiris Hume, dan berangsur-angsur meninggalkan Rasionalisme. Immanuel Kant mengatakan, Hume-lah yang telah membangunkan diri dari tidur dogmatisnya, yang menyusul ialah zaman Kritis. Dalam zaman kedua ini Kant mengubah wajah filsafat secara radikal dengan filsafat Kritisismenya dan ia mempertentangkan Kritisisme dengan Dogmatisme.
Immanuel Kant membujang seumur hidupnya, mungkin ia berpikir seperti Nietsche yang berpandangan bahwa kawin akan merintangi pencapaian kebenaran, atau Telleyrand yang berpendapat bahwa orang yang kawin akan melakukan apa saja demi uang. Pada umur 22 tahun, Immanuel Kant menyatakan “saya sudah menetapkan jalan yang pasti, saya ingin berlajar, tidak satupun yang dapat menghalangi saya dalam mencapai tujuan itu”.
Menurut salah seorang penulis biografi, kehidupan Kant berlangsung menurut aturan yang tegas, bangun, minum kopi, menulis, memberi kuliah, makan, jalan-jalan, masing-masing mempunyai waktunya sendiri. Lalu Kant muncul dari pintu rumahnya, berjalan menuju jalan kecil di bawah pepohonan yang rindang yang sering disebut Tempat Jalan-jalan Sang Filosof.
Kemudian pada tahun 1796 M, Immanuel Kant berhenti memberi kuliah dengan alasan usia tua, pada tahun 1798 M kesehatannya mulai menurun. Akhirnya pada tanggal 12 Februari 1804 Kant meninggal dunia pada usia 80 tahun dalam keadaan pikun. Banyak pelayat berdatangan dari segenap penjuru Konigsberg, dan seluruh Jerman. Jenazahnya dikuburkan di perkuburan kota. Kubur itu kemudian rusak dan diperbaiki pada tahun 1881, pada tahun 1924, pada peringatan 200 tahun kelahiran Kant, sisa-sisa tulang-belulangnya dipindahkan ke serambi katedral di pusat kota Konigsberg.

2.                   PEMIKIRAN TOKOH

Pemikiran Descartes

Teori Tentang Pengetahuan


Descartes berpendapat bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah dari dalam diri manusia itu sendiri. Descartes mengatakan bahwa kemampuan berpikir manusia yang sekarang tidak lagi semurni dan sekokoh sebagaimana jika manusia menggunakan nalarnya sendiri sejak dilahirkan karena sejak kecil cara berpikir manusia sudah dipengaruhi oleh cara berpikir orang lain yang ditanamkan melalui pendidikan.
Dalam buku Filsafat dan Iman Kristen 1 diakatakan bahwa prinsip pertama Descartes memutuskan “tidak akan pernah mau menerima atau menganggap benar sesuatu yang saya tidak tahu dengan jelas itu memang benar demikian”. Tujuannya adalah agar manusia tidak terperangkap dengan semua pengetahuan yang salah yang diterimanya selama ini dari luar dan berusaha untuk mencari kebenaran yang pasti dengan nalar yang dimiliki manusia itu sendiri sehingga tidak ada lagi kemungkinan manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang salah.

Dalam bukunya Risalah tentang Metode, Descartes mengemukakan empat prinsip yang dapat digunakan untuk mendapatkan pengetahuan yang benar-benar benar dan tidak dapat diragukan atau disangsikan lagi, yaitu :
1.                  Tidak pernah menerima apapun sebagai benar kecuali jika saya mengetahuinya secara jelas bahwa hal itu memang benar, artinya menghindari secara hati-hati penyimpulan yang terlalu cepat dan praduga, dan tidak memasukkan apapun dalam pikiran saya kecuali apa yang tampil sedemikian jelas dan gamblang di dalam nalar saya, sehingga tidak akan ada kesempatan untuk meragukannya.
2.                  Memilah satu per satu kesulitan yang akan saya telaah menjadi bagian-bagian kecil sebanyak mungkin atau sejumlah yang diperlukan, untuk memudahkan penyelesaiannya.
3.                  Berpikir secara runtut dengan mulai dari objek-objek yang paling sederhana dan paling mudah dikenali, lalu meningkat sedikit demi sedikit sampai ke masalah yang paling rumit, dan bahkan dengan menata dalam urutan objek-objek yang secara alami tidak beraturan.
4.                  Membuat perincian yang selengkap mungkin dan pemeriksaan yang demikian menyeluruh sampai saya yakin bahwa tidak ada yang terlupakan.

Descartes juga mengatakan
“rantai panjang dari pertimbangan yang sederhana dan mudah yang biasa dipakai oleh para ahli ilmu ukur untuk mencapai kesimpulan-kesimpulan dari pemaparan-pemaparan mereka yang paling sulit, telah memimpin saya membayangkan bahwa segala sesuatu, sejauh pengetahuan manusia sanggup mencapainya, saling berhubungan dengan cara yang sama, dan bahwa tidak ada sesuatupun yang terlalu terpencil dari kita sehingga berada di luar jangkauan kita, atau terlalu tersembunyi sehingga kita tidak dapat menemukannya, asal saja kita menghindarkan diri dari menerima hal yang salah sebagai benar, dan senantiasa melindungi dalam pikiran kita aturan yang perlu untuk pengambilan kesimpulan (deduksi) mengenai satu kebenaran dari yang lainnya”. Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa Descartes menganggap benar bahwa segala pengetahuan bersumber dari rasio manusia. Bahwa tidak ada satupun hal yang tidak dapat diketahui oleh manusia asalkan manusia mau menggunakan nalarnya.
Descartes ingin mendapatkan kebenaran yang benar-benar benar sehingga kebenaran tersebut tidak dapat lagi dibantahkan ataupun diragukan. Oleh karena itu, Descartes memulainya dengan meragukan segala sesuatu yang diterimanya dari luar melalui indera karena menurutnya ada kalanya indera menipu kita. Bahkan keberadaan dirinya sendiri pun diragukannya juga karena menurutnya terkadang semua pemikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur sehingga dia tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah dia sedang bermimpi atau tidak.

Pada akhirnya Descartes menemukan bahwa meskipun segala sesuatu dapat diragukannya, satu hal yang tidak dapat diragukannya adalah fakta bahwa dia sedang ragu-ragu. Descartes menemukan fakta bahwa dia sedang ragu-ragu adalah fakta yang tidak dapat dibantah oleh siapapun atau apapun juga. Jika dia sedang ragu-ragu, maka hal itu berarti membuktikan bahwa dia sedang berpikir. Jika dia tahu bahwa dia sedang berpikir, maka haruslah ada sang pemikir, yaitu dirinya sendiri. Jika pemikir harus ada, maka dirinya pun harus ada. Bahkan ketika dia membayangkan seolah-olah dirinya sama sekali tidak memiliki badan dan tidak ada dunia ataupun ruang tempat dia berada, hal itu justru membuktikan dengan jelas dan pasti bahwa dia ada. Hal ini kemudian menjadi aksiomanya yang paling terkenal, “cogito ergo sum” yang artinya “saya berpikir, maka saya ada”. Akhirnya, hal ini menjadi prinsip pertama dari filsafatnya. Hal ini dijelaskannya dalam bukunya Risalah tentang Metode.

Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa filsafat Descartes dilandasi oleh pencarian suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal oleh siapapun atau apapun dengan cara berpikir dan bernalar dengan rasio yang murni yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri. Metode meragukan segala sesuatu di awal adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan lebih terperinci sehingga lebih jelas dan benar.


Pemikiran Hume

Teori Hume Tentang Pengalaman dan Kausalitas (Sebab-Akibat).

Teori Hume tentang pengalaman dimulai dengan ide bahwa semua isi pengalaman sadar kita dapat dipecah menjadi dua kategori yakni kesan dan ide. Hume mengatakan bahwa istilah kesan (impression) menunjuk kepada semua persepsi kita yang lebih hidup ketika mendengar, melihat, merasa, mencinta, membenci, menginginkan atau menghendaki. Kesan berbeda dari ide, bukan di dalam isi tetapi di dalam kekuatan dan semangat, yang dengannya keduanya menyentuh kita. Di sisi lain, ide adalah gambar yang didasarkan pada memori kesan atau pikiran tentang kesan, yang terakhir ini sering melibatkan kemampuan imajinasi kita yang memberi produk ide, yang mungkin kita memiliki kaitan langsung di dalam wilayah kesan. Meskipun demikian, semua ide dasarnya berasal dari kesan.

Hume menguraikan dan menjelaskan hubungan antara kesan dan ide dengan menyatakan bahwa keduanya dipandang dari segi simplisitas atau kompleksitasnya, dapat dibagi menjadi dua kategori. Sebuah kesan yang kompleks tersusun atas kesan-kesan yang simpel. Selain itu, setiap ide yang simple berasal dari kesan tunggal yang berhubungan secara langsung. Di sisi lain, sebuah ide kompleks tidak perlu berasal dari sebuah kesan kompleks. Sebaliknya, ide-ide kompleks dapat dikembangkan dari variasi kesan simpel atau kompleks, atau ide-ide kompleks itu dapat disusun dari ide-ide simple. Dalam penyelidikan Hume, ternyata banyak ide yang kompleks yang tidak memiliki kesan yang berhubungan dengan ide itu. Banyak pula kesan yang kompleks yang tidak direkam dalam ide kita. kita tidak dapat menggambarkan suatu kota yang belum pernah saya lihat. Akan tetapi saya pernah melihat kota Paris, namun kita harus mengatakan kita tidak sanggup membentuk ide tentang kota Paris yang lengkap dengan gedung-gedung, jalan dan lain-lain lengkap dengan ukuran masing-masing. Untuk mengetahui apakah sesuatu yang kita sangka pengetahuan adalah benar-benar pengetahuan, kita harus mengurai ide yang kompleks menjadi ide-ide yang sederhana dan kemudian menemukan kesan yang merupakan basis ide tersebut. Bila kita mengatakan kita melihat sebuah “apel”, kita menganalisis pengalaman kita. Ide kita adalah ada sebuah apel ditentukan oleh penglihatan kita pada warna merah, bentuk bulat, rasa apel, dan seterusnya.

Selanjutnya, Hume sangat tertarik pada relasi sebab dan akibat karena semua pertimbangan yang berkenaan dengan masalah fakta tampak didasarkan pada relasi sebab dan akibat.
Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika atau kemestian sebab-akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti, api membuat api mendidih. Padahal dalam api tidak dapat diamati adanya daya aktif yang mendidihkan air.
Menurut Hume, pengalamanlah yang memberi informasi yang langsung dan pasti terhadap objek yang diamati sesuai waktu dan tempat. Roti yang telah saya makan, kata Hume, mengenyangkan saya, artinya bahwa tubuh dengan bahan ini dan pada waktu itu memiliki rahasia kekuatan untuk mengenyangkan. Namun, roti tersebut belum tentu bisa menjadi jaminan yang pasti pada waktu yang akan datang karena roti itu unsurnya telah berubah karena tercemar dan kena polusi dan situasipun tidak sama lagi dengan makan roti yang pertama. Jadi, pengalaman adalah sumber informasi bahwa roti itu mengenyangkan, untuk selanjutnya hanya kemungkinan belaka bukan kepastian.

Pemikiran Immanuel Kant

Bagi Kant ilmu pengetahuan dalam bekerja harus memenuhi syarat obyektif maupun subyektif (Awuy, 1993).
Kant mengubah wajah filsafat secara radikal dengan titik sentral manusia sebagai subjek berpikir terinspirasi dari Copernican Revolution yakni revolusi pemikiran yang dilakukan Kant dalam mencari sumber pengetahuan pada diri manusia, khususnya mengenai fenomena yang mementingkan kesadaran subjek yang kemudian melahirkan idealisme yang memuncak pada Hegel. Juga mengenai apriori telah melahirkan sentralitas subjek sebagai penentu kebenaran sebuah pengetahuan.
Dengan revolusi ini, filsafat Kant tidak dimulai dengan penyelidikan benda sebagai objek, tetapi dengan menyelidiki struktur-struktur subyek yang memungkinkan benda-benda diketahui sebagai obyek. Dulunya para filsuf mencoba memahami pengenalan dengan mengandaikan bahwa subyek mengarahkan diri kepada obyek (Dister, 1992).
Filsafat menurut Immanuel Kant adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup empat persoalan:
1) apakah yang dapat kita kerjakan (jawabannya metafisika)
2)apakah yang seharusnya kita kerjakan (etika)
3) sampai di manakah harapan kita (agama)
4) apakah yang dinamakan manusia (antropologi).
Filsafat tidak lain dari pengetahuan tentang segala yang ada (Plato). Filsafat adalah ilmu (pengetahuan) meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (Aristoteles).
Modernisme ialah konsep yang berhubungan dengan hubungan manusia dengan lingkungan sekitarnya di zaman modern. Konsep modernisme ini meliputi banyak bidang ilmu (termasuk seni dan sastra) dan setiap bidang ilmu tersebut memiliki perdebatan mengenai apa itu ‘modernisme’. Walaupun demikian, ‘modernisme’ pada umumnya dilihat sebagai reaksi individu dan kelompok terhadap dunia ‘modern’, dan dunia modern ini dianggap sebagai dunia yang dipengaruhi oleh praktik dan teori kapitalisme, industrialisme, dan negara-bangsa (Wikipedia).
Kant menganggap kondisi tertentu dalam pikiran manusia ikut menentukan konsepsi. Apa yang kita lihat dianggap sebagai fenomena dalam ruang dan waktu yang disebut bentuk intuisi, mendahului setiap pengalaman. Untuk pengenalan, Kant berargumen bahwa obyek mengarahkan diri ke subyek. Tidak seperti filsuf sebelumnya yang mencoba mengerti pengenalan dengan mengandaikan bahwa subyek mengarahkan diri ke obyek.
Pengetahuan merupakan sintesa dari unsur-unsur yang ada sebelum pengalaman yakni unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yaitu unsur-unsur aposteriori. Proses sintesis ini terjadi dalam tiga tahap..

Pertama, pencerapan indrawi (sinneswahrehmung) Menurut Kant pencerapan inderawi adalah tingkat pengetahuan manusia pertama dan terendah. Data-data inderawi harus di buktikan dulu dengan 12 kategori, baru dapat di putuskan. Demikian proses kritisisme rasionalisme ala Immanuel Kant. Metodologi ini kemudian dikenal dengan metode induksi, dari partikular data-data terkecil baru mencapai kesimpulan universal.

Kedua, akal budi (verstand) Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data inderawi, sehingga menghasilkan keputusan-keputusan. Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang disebut dengan kategori. Dalam menerapkan kategori-kategori ini, akal budi bekerja sedemikian rupa sehingga kategori-kategori itu hanya cocok dengan data-data yang dikenainya saja. Melalui kategori, Kant seperti menjelaskan sahnya ilmu pengetahuan alam.
Ketiga, intelek atau rasio (versnunft). Menurut Kant intelekt atau rasio (versnunft) adalah kemampuan asasi (principien) yang menciptakan pengertian-pengertian murni dan mutlak karena rasio memasukkan pengetahuan khusus ke dalam pengetahuan yang bersifat umum. Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat di bawahnya yakni akal budi (verstand) dan tingkat pengalaman inderawi (senneswahnehmung).
Dalam dialektika transendental Kant menyebut tiga ide rasio murni atau idea transendental yakni idea psikis (jiwa), idea kosmologis (dunia), dan idea teologis (Tuhan). Ide jiwa menyatakan dan mendasari segala gejala batiniah (psikis), ide dunia menyatakan gejala jasmani, dan ide Tuhan mendasari semua gejala, baik yang bersifat jasmani maupun rohani (psikis) (Kant, 1990).
Kant juga beranggapan bahwa ada tiga hal yang harus diandaikan supaya tingkah laku manusia tidak menjadi mustahil. Kant meyebut tiga hal tersebut  sebagai postulat  rasio praktis yaitu
 1) Free will yakni kehendak yang bebas
 2) Keabadian jiwa yaitu immortalitas jiwa yang menjelaskan bahwa manusia secara fisik mati, tetapi jiwa tak pernah mati. Sehingga ide bersifat abstrak dan posisinya di atas segala sesuatu yang ada di dunia.
3) Tuhan.
Setelah Immanuel Kant memasuki masa kritis, ia mengubah pemikirannya lebih radikal. Ia menamakan filsafatnya sebagai kritisisme dan  mempertentangkannya dengan dogmatisme (Guyer, 1995). Filsafat Kant disebut kritisisme karena ia tidak membenarkan penggunaan kemampuan rasio semata-mata dalam memahami realitas pada dirinya. Menurut Kant rasio memiliki keterbatasan yang hanya sampai pada dunia penginderaan (fenomena).
Kritisisme dapat disebut sebagai sintesa rasionalisme dan empirisme yang secara prinsip dituangkan Kant dalam buku Critique of Pure Reason. Rasionalisme dan empirisme mempunyai pengaruh besar filsafat modern (1500-1900). Pengandaian-pengandaian terhadap sistem pengetahuan tidak bisa begitu saja terlepas dari dua aliran ini yang saling bertentangan. Pertentangan dan perdebatan antara kedua aliran ini yang disebut antinomy berusaha didamaikan Kant.
Rasionalisme modern hanya mempunyai sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental  René Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal yang ditentang rasionalisme kontinental.
empirisme harus dilandasi dengan teori-teori rasionalisme sebelum di anggap sah melalui epistomologi. Karena Kant menganggap empirisme (pengalaman) itu bersifat relatif bila tanpa ada landasan teorinya. Misalnya air akan mendidih jika dipanaskan berlaku di daerah tropis. Tetapi jika di daerah kutub bersuhu di bawah 0 derajat, air yang dipanaskan tidak akan mendidih karena air akan menjadi dingin.
Rasionalisme dalam kehidupan modern adalah pengaruh pemikiran Immanuel Kant. Rasional pada tingkat teoretis harus mempunyai dasar yang jelas (fundationalistik). Rasional pada tingkat praktis harus bisa dipertanggungjawabkan berdasarkan nalar. Agama berdasarkan rasional tidak mungkin. Agama bernilai karena memberi dasar moral.

5.                   KRITIK TERHADAP PEMIKIRAN TOKOH

DESCARTES


Hal yang ingin kami kritisi disini adalah perkataan Descartes yang mengatakan bahwa tidak ada pengetahuan yang begitu terpencil atau begitu tersembunyi yang tidak dapat dijangkau oleh manusia asalkan manusia mau menggunakan nalarnya. Apakah memang nalar manusia demikian tidak terbatasnya sehingga semua pengetahuan bisa dijangkau?. Hal ini tentu tidak benar karena manusia adalah mahkluk yang terbatas dan hanya Tuhanlah yang tidak terbatas.

Tidak semua hal di dunia ini bisa dimengerti oleh pemikiran kita. Kita hanyalah manusia yang terbatas. Hanya Allah yang tidak terbatas. Jika kita mau mencari kebenaran yang absolut, sampai kapan pun kita tidak akan menemukannya karena kebenaran yang absolut hanya dimiliki oleh Allah. Oleh karena itu, janganlah kita bersandar hanya pada pengertian kita sendiri melainkan melandaskannya pada Tuhan.

Pemikiran Hume

Hume mengkritik keras ketiga bukti keberadaan Tuhan yang disampaikan Descartes. Dua bukti pertama Descartes mengenai keberadaan Tuhan adalah bukti sebab-akibat. Keduanya membuktikan bahwa Tuhan ada sebagai satu-satunya sebab munculnya gagasanku mengenai Dia dan munculnya gagasan mengenai keberadaanku sebagai benda yang berpikir. Namun kita tidak mempunyai kesan indera mengenai Tuhan sebagai suatu sebab, kita juga tidak mempunyai kesan apapun mengenai benda berpikir sebagai akibat. Apalagi, pada kedua bukti sebab-akibat mengenai keberadaan Tuhan ini, Descartes mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan pemikiran bahwa sebab harus sama nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes gagasan ini sangat jelas sehingga tidak ada pikiran rasional apapun yang bisa meragukannya, namun bagi Hume gagasan ini sangatlah tidak berarti. Gagasan tersebut tidak memunculkan baik landasan rasional maupun empiris untuk kausalitas. Adapun bukti ketiga mengenai keberadaan Tuhan, yang dimunculkan pada buku “Meditation Descartes” menggunakan bukti ontologis yang dikemukakan Saint Anselm di abad XI. Bukti itu mengemukakan ide bawaan mengenai Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan oleh karena itu pasti memiliki kesempunaan pada wujud-Nya. Bukti ini sampai pula pada kesimpulan bahwa Tuhan itu memang ada. Hume meruntuhkan bukti ini dengan pertama-tama mengingatkan kita bahwa filsuf empirisme seperti John Locke telah menunjukan tidak ada yang namanya ide bawaan, kita hanya memiliki gagasan yang muncul dari pengalaman kesan. Bukti ontologis Saint Anselm mengenai keberadaan Tuhan menyatakan bahwa ide ketuhanan itu dengan sendirinya terbukti dalam akal pikiran: Tuhan mempunyai segala kesempurnaan, Dia Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Maha Baik. Oleh karena itu, Dia tak mungkin kurang sempurna dalam keberadaan-Nya. Hume menjawabnya dengan uji empiris atas gagasan: jika tidak ada kesan dalam pengalaman, gagasan itu tidaklah bermakna, tak berarti. Namun kita tidak bisa mempunyai kesan indera atas zat supranatural, dengan demikian ide ketuhanan tidak lulus dalam uji empiris.

Hume menyangkal dalam bukunya “Dialogues Concerning Natural Religion”, dia menggunakan bentuk dialog Plato untuk menjatuhkan Deisme. Tiga karakter memerankan masing-masing sebagai seorang penganut Kristen yang alim, dan sangat ortodok; seorang pengikut Deisme yang mendukung agama yang alami, rasional dan memiliki keterkaitan dengan sains; serta seorang penganut skeptisme yang meremehkan keduanya. Suara Hume tertuang dalam Philo yang skeptis, yang suka mempermainkan orang, khususnya penganut Deisme yang menyatakan memiliki agama yang alami dan rasional. Kesan dari indera kita, kata Philo si skeptis, menjadi landasan bagi pengetahuan ilmiah kita, dan kesan ini tidak memberikan bukti bagi pernyataan bahwa alam semesta ini secara sempurna teratur dan harmonis, juga tidak menjamin bahwa keteraturan semacam itu akan berlanjut selamanya.

Hume berkata, perhatikan dengan seksama dunia ini dan lihat apakah ini merupakan karya arsitek yang Maha Kuasa dan Maha Bisa. Jika seorang arsitek menunjukan pada anda “sebuah rumah atau istana dimana tidak ada satu ruangpun yang layak, dimana jendela, pintu, tungku, gang, tangga dan keseluruhan bangunan ekonominya merupakan sumber keributan, kebingungan, kelelahan, kegelapan, dan ekstremnya panas dan dingin, anda tentu akan menyalahkan alatnya, anda akan mengemukakan pembelaan yakni jika saja arsiteknya memiliki keahlian dan maksud yang baik, mungkin dia telah membetulkan semua atau sebagian besar ketidak layakan ini”. Dalam alam manusia, tambah Hume, apakah anda menemukan bukti bahwa dunia ini dirancang dengan baik oleh perancang yang baik dan penyayang? Lalu bagaimana anda menjelaskan kesedihan, rasa sakit, dan kejahatan dalam kehidupan manusia? Perhatikan sekeliling alam ini, perhatikan lebih dekat makhluk hidup ini betapa mereka saling menjahati dan merusak, betapa terkutuk dan jahatnya bagi yang melihat alam yang buta, menyembul dari pengakuan tanpa ada perhatian dan kepedulian, anaknya yang terluka dan buruk. Dengan ungkapan Hume ini, maka dia sebenarnya telah meragukan eksistensi akan keberadaan Tuhan itu sendiri karena menurut Hume, eksistensi Tuhan itu tidak dapat ditangkap lewat kesan pengalaman, sehingga eksistensi tidak dapat diragukannya.

Hume mengkritik keras ketiga bukti keberadaan Tuhan yang disampaikan Descartes. Dua bukti pertama Descartes mengenai keberadaan Tuhan adalah bukti sebab-akibat. Keduanya membuktikan bahwa Tuhan ada sebagai satu-satunya sebab munculnya gagasanku mengenai Dia dan munculnya gagasan mengenai keberadaanku sebagai benda yang berpikir. Namun kita tidak mempunyai kesan indera mengenai Tuhan sebagai suatu sebab, kita juga tidak mempunyai kesan apapun mengenai benda berpikir sebagai akibat. Apalagi, pada kedua bukti sebab-akibat mengenai keberadaan Tuhan ini, Descartes mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan pemikiran bahwa sebab harus sama nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes gagasan ini sangat jelas sehingga tidak ada pikiran rasional apapun yang bisa meragukannya, namun bagi Hume gagasan ini sangatlah tidak berarti. Gagasan tersebut tidak memunculkan baik landasan rasional maupun empiris untuk kausalitas. Adapun bukti ketiga mengenai keberadaan Tuhan, yang dimunculkan pada buku “Meditation Descartes” menggunakan bukti ontologis yang dikemukakan Saint Anselm di abad XI. Bukti itu mengemukakan ide bawaan mengenai Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan oleh karena itu pasti memiliki kesempunaan pada wujud-Nya. Bukti ini sampai pula pada kesimpulan bahwa Tuhan itu memang ada. Hume meruntuhkan bukti ini dengan pertama-tama mengingatkan kita bahwa filsuf empirisme seperti John Locke telah menunjukan tidak ada yang namanya ide bawaan, kita hanya memiliki gagasan yang muncul dari pengalaman kesan. Bukti ontologis Saint Anselm mengenai keberadaan Tuhan menyatakan bahwa ide ketuhanan itu dengan sendirinya terbukti dalam akal pikiran: Tuhan mempunyai segala kesempurnaan, Dia Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Maha Baik. Oleh karena itu, Dia tak mungkin kurang sempurna dalam keberadaan-Nya. Hume menjawabnya dengan uji empiris atas gagasan: jika tidak ada kesan dalam pengalaman, gagasan itu tidaklah bermakna, tak berarti. Namun kita tidak bisa mempunyai kesan indera atas zat supranatural, dengan demikian ide ketuhanan tidak lulus dalam uji empiris.

Hume menyangkal dalam bukunya “Dialogues Concerning Natural Religion”, dia menggunakan bentuk dialog Plato untuk menjatuhkan Deisme. Tiga karakter memerankan masing-masing sebagai seorang penganut Kristen yang alim, dan sangat ortodok; seorang pengikut Deisme yang mendukung agama yang alami, rasional dan memiliki keterkaitan dengan sains; serta seorang penganut skeptisme yang meremehkan keduanya. Suara Hume tertuang dalam Philo yang skeptis, yang suka mempermainkan orang, khususnya penganut Deisme yang menyatakan memiliki agama yang alami dan rasional. Kesan dari indera kita, kata Philo si skeptis, menjadi landasan bagi pengetahuan ilmiah kita, dan kesan ini tidak memberikan bukti bagi pernyataan bahwa alam semesta ini secara sempurna teratur dan harmonis, juga tidak menjamin bahwa keteraturan semacam itu akan berlanjut selamanya.

Hume berkata, perhatikan dengan seksama dunia ini dan lihat apakah ini merupakan karya arsitek yang Maha Kuasa dan Maha Bisa. Jika seorang arsitek menunjukan pada anda “sebuah rumah atau istana dimana tidak ada satu ruangpun yang layak, dimana jendela, pintu, tungku, gang, tangga dan keseluruhan bangunan ekonominya merupakan sumber keributan, kebingungan, kelelahan, kegelapan, dan ekstremnya panas dan dingin, anda tentu akan menyalahkan alatnya, anda akan mengemukakan pembelaan yakni jika saja arsiteknya memiliki keahlian dan maksud yang baik, mungkin dia telah membetulkan semua atau sebagian besar ketidak layakan ini”. Dalam alam manusia, tambah Hume, apakah anda menemukan bukti bahwa dunia ini dirancang dengan baik oleh perancang yang baik dan penyayang? Lalu bagaimana anda menjelaskan kesedihan, rasa sakit, dan kejahatan dalam kehidupan manusia? Perhatikan sekeliling alam ini, perhatikan lebih dekat makhluk hidup ini betapa mereka saling menjahati dan merusak, betapa terkutuk dan jahatnya bagi yang melihat alam yang buta, menyembul dari pengakuan tanpa ada perhatian dan kepedulian, anaknya yang terluka dan buruk. Dengan ungkapan Hume ini, maka dia sebenarnya telah meragukan eksistensi akan keberadaan Tuhan itu sendiri karena menurut Hume, eksistensi Tuhan itu tidak dapat ditangkap lewat kesan pengalaman, sehingga eksistensi tidak dapat diragukannya.

Immnuel kant

Dalam “Kritik atas Rasio Murni”  Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan  bersifat umum, mutlak, dan memberi pengertian baru. Untuk  itu ia terlebih dahulu membedakan adanya tiga macam pengetahuan atau keputusan yakni pertama, keputusan analitis a priori yang menempatkan predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang).
Kedua, keputusan sintesis aposteriori dengan predikat dihubungkan subjek berdasarkan pengalaman inderawi, karma dinyatakan setelah mempunyai pengalaman dengan aneka ragam meja yang pernah diketahui.Misalnya meja itu bagus.
Ketiga, keputusan apriori menggunakan sumber pengetahuan yang bersifat sintesis tetapi bersifat apriori juga. Misalnya keputusan “segala kejadian mempunyai sebabnya”. Ilmu eksakta, mekanika, dan ilmu pengetahuan alam disusun  atas putusan sintesis bersifat apriori. Kant menyebut keputusan jenis ketiga sebagai syarat dasar sebuah pengetahuan (ilmiah) dipenuhi yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru.
Pengetahuan merupakan sintesa dari unsur-unsur yang ada sebelum pengalaman yakni unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur yang ada setelah pengalaman yaitu unsur-unsur aposteriori. Proses sintesis ini terjadi dalam tiga tahap.
Pertama, pencerapan indrawi (sinneswahrehmung) Menurut Kant pencerapan inderawi adalah tingkat pengetahuan manusia pertama dan terendah. Data-data inderawi harus di buktikan dulu dengan 12 kategori, baru dapat di putuskan. Demikian proses kritisisme rasionalisme ala Immanuel Kant. Metodologi ini kemudian dikenal dengan metode induksi, dari partikular data-data terkecil baru mencapai kesimpulan universal.
Menurut Immanuel Kant,  manusia sudah mendapatkan 12 kategori tersebut sejak lahir. Teori ini terinspirasi dunia ide Plato. Immanuel Kant beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa menentukan fenomena saja. Fenomena adalah sesuatu yang tampak, hanya memperlihatkan fisiknya saja.
Kedua, akal budi (verstand) Tugas akal budi adalah menyusun dan menghubungkan data-data inderawi, sehingga menghasilkan keputusan-keputusan. Pengetahuan akal budi baru diperoleh ketika terjadi sintesis antara pengalaman inderawi dengan bentuk-bentuk a priori yang disebut dengan kategori. Dalam menerapkan kategori-kategori ini, akal budi bekerja sedemikian rupa sehingga kategori-kategori itu hanya cocok dengan data-data yang dikenainya saja. Melalui kategori, Kant seperti menjelaskan sahnya ilmu pengetahuan alam.
Ketiga, intelek atau rasio (versnunft). Menurut Kant intelek  atau rasio (versnunft) adalah kemampuan asasi (principien) yang menciptakan pengertian-pengertian murni dan mutlak karena rasio memasukkan pengetahuan khusus ke dalam pengetahuan yang bersifat umum. Tugas intelek adalah menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan pada tingkat di bawahnya yakni akal budi (verstand) dan tingkat pengalaman inderawi (senneswahnehmung).

                                  BAB III
KESIMPULAN
*      HUME
-Hume mengkritik keras ketiga bukti keberadaan Tuhan yang disampaikan Descartes. Dua bukti pertama Descartes mengenai keberadaan Tuhan adalah bukti sebab-akibat. Keduanya membuktikan bahwa Tuhan ada sebagai satu-satunya sebab munculnya gagasanku mengenai Dia dan munculnya gagasan mengenai keberadaanku sebagai benda yang berpikir. Namun kita tidak mempunyai kesan indera mengenai Tuhan sebagai suatu sebab, kita juga tidak mempunyai kesan apapun mengenai benda berpikir sebagai akibat. Apalagi, pada kedua bukti sebab-akibat mengenai keberadaan Tuhan ini, Descartes mendasarkan diri pada kejelasan dan kejernihan pemikiran bahwa sebab harus sama nyatanya dengan akibatnya. Bagi Descartes gagasan ini sangat jelas sehingga tidak ada pikiran rasional apapun yang bisa meragukannya, namun bagi Hume gagasan ini sangatlah tidak berarti. Gagasan tersebut tidak memunculkan baik landasan rasional maupun empiris untuk kausalitas. Adapun bukti ketiga mengenai keberadaan Tuhan, yang dimunculkan pada buku “Meditation Descartes” menggunakan bukti ontologis yang dikemukakan Saint Anselm di abad XI. Bukti itu mengemukakan ide bawaan mengenai Tuhan yang memiliki segala kesempurnaan, dan oleh karena itu pasti memiliki kesempunaan pada wujud-Nya. Bukti ini sampai pula pada kesimpulan bahwa Tuhan itu memang ada. Hume meruntuhkan bukti ini dengan pertama-tama mengingatkan kita bahwa filsuf empirisme seperti John Locke telah menunjukan tidak ada yang namanya ide bawaan, kita hanya memiliki gagasan yang muncul dari pengalaman kesan. Bukti ontologis Saint Anselm mengenai keberadaan Tuhan menyatakan bahwa ide ketuhanan itu dengan sendirinya terbukti dalam akal pikiran: Tuhan mempunyai segala kesempurnaan, Dia Maha Tahu, Maha Kuasa, dan Maha Baik. Oleh karena itu, Dia tak mungkin kurang sempurna dalam keberadaan-Nya. Hume menjawabnya dengan uji empiris atas gagasan: jika tidak ada kesan dalam pengalaman, gagasan itu tidaklah bermakna, tak berarti. Namun kita tidak bisa mempunyai kesan indera atas zat supranatural, dengan demikian ide ketuhanan tidak lulus dalam uji empiris.
-Hume sangat tertarik pada relasi sebab dan akibat karena semua pertimbangan yang berkenaan dengan masalah fakta tampak didasarkan pada relasi sebab dan akibat.
Hume menegaskan bahwa pengalaman lebih memberi keyakinan dibanding kesimpulan logika atau kemestian sebab-akibat. Sebab akibat hanya hubungan yang saling berurutan saja dan secara konstan terjadi seperti, api membuat api mendidih. Padahal dalam api tidak dapat diamati adanya daya aktif yang mendidihkan air.

*      IMMANUEL KANT
-Menurut Immanuel Kant,  manusia sudah mendapatkan 12 kategori tersebut sejak lahir. Teori ini terinspirasi dunia ide Plato. Immanuel Kant beranggapan bahwa data inderawi manusia hanya bisa menentukan fenomena saja. Fenomena adalah sesuatu yang tampak, hanya memperlihatkan fisiknya saja.
-Kant mengubah wajah filsafat secara radikal dengan titik sentral manusia sebagai subjek berpikir terinspirasi dari Copernican Revolution yakni revolusi pemikiran yang dilakukan Kant dalam mencari sumber pengetahuan pada diri manusia, khususnya mengenai fenomena yang mementingkan kesadaran subjek yang kemudian melahirkan idealisme yang memuncak pada Hegel. Juga mengenai apriori telah melahirkan sentralitas subjek sebagai penentu kebenaran sebuah pengetahuan

*      DESCARTES
-filsafat Descartes dilandasi oleh pencarian suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal oleh siapapun atau apapun dengan cara berpikir dan bernalar dengan rasio yang murni yang berasal dari dalam diri manusia itu sendiri. Metode meragukan segala sesuatu di awal adalah cara untuk mendapatkan pengetahuan dengan lebih terperinci sehingga lebih jelas dan benar.

-Descartes ingin mendapatkan kebenaran yang benar-benar benar sehingga kebenaran tersebut tidak dapat lagi dibantahkan ataupun diragukan. Oleh karena itu, Descartes memulainya dengan meragukan segala sesuatu yang diterimanya dari luar melalui indera karena menurutnya ada kalanya indera menipu kita. Bahkan keberadaan dirinya sendiri pun diragukannya juga karena menurutnya terkadang semua pemikiran yang muncul pada waktu kita sadar dapat juga datang ketika sedang tidur sehingga dia tidak dapat mengetahui dengan pasti apakah dia sedang bermimpi atau tidak.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar